<

4 Ritual ini Membawa Keberkahan Warga Banyuwangi

BANYUWANGI, IndonesiaPos.co.id

Kabupaten Banyuwangi bukan hanya terkenal dengan destinasi wisata. Kabupaten ini kaya dengan ritual dan tradisi. Banyuwangi yang letaknya di ujung paling timur Pulau Jawa, Banyuwangi bukan hanya terkenal dengan destinasi wisata yang memukau mata. Banyuwangi juga kaya dengan kesenian dan kebudayaan unik.

Di sana tujuh etnis besar hidup secara berdampingan yaitu suku Using, Jawa Mataraman, Madura, Bali, Mandar, Tionghoa, dan Arab yang akhirnya melahirkan berbagai upacara adat serta aneka tradisi yang berbasis agama. Salah satu tradisi dan ritual yang terkenal yaitu berasal dari suku Osing.

Ritual Kebo-Keboan di Desa Alas Malang dan Desa Aliyan

Masyarakat Osing di Desa Alas Malang mengadakan ritual kebo-keboan setiap satu suro. Menurut para sesepuh Desa Alas Malang, upacara Kebo-Keboan bertujuan untuk mendapatkan keselamatan, penyembuhan, kesuburan, dan pembersihan diri dari Tuhan Yang Maha Esa, agar proses tanam benih untuk tahun depan dapat menghasilkan panen yang melimpah.

Ritual kebo-keboan dimulai dengan doa keselamatan dari Kiai, kemudian membagikan hidangan seperti lembaran daun, nasi tumpeng di atas ancak, lauk pauk, sayur yang ditata dalam takir, dan masakan khas pecel pitik pada masyarakat serta pengunjung yang menyaksikan upacara.

yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas yang diakhiri dengan prosesi membajak sawah serta menanam bibit padi dari orang-orang yang berdandan seperti kerbau.

Tradisi Seblang di Desa Olehsari dan Desa Bakungan

Ritual seblang merupakan salah satu ritual tarian masyarakat Osing yang hanya ada di dua desa dalam wilayah kecamatan Glagah, Banyuwangi, yaitu desa Bakungan dan Olehsari. Tujuan dari ritual ini membersihkan desa dan tolak bala, agar desa tetap aman dan tentram.

 Meski sama-sama melaksanakan ritual tari Seblang tapi waktu penyelenggaraan di desa Olehsari dan Bakungan berbeda. Desa Olehsari dilakukan satu minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.

Selain itu, penari yang dipilih secara supranatural di kedua desa berbeda, jika desa Olehsari harus gadis yang belum akil baliq, desa Bakungan, harus wanita yang berusia 50 tahun ke atas yang telah habis masa haidnya (menopause).

Tari Seblang dimulai dengan upacara yang dibuka oleh Gambuh yang memantrai penari yang matanya ditutup. Ketika penari menjatuhkan tempeh yang dipegangnya kesurupan, barulah tradisi dimulai. Penari akan bergerak monoton dengan mata terpejam dan mengikuti arah sang pawang serta irama gendhing.

Penari Seblang yang larut dalam ketidaksadaran lama-lama melempar selendang yang dipakainya ke arah penonton dan mereka yang menonton menari bersama. Jika tidak, penari akan terus mengejar-ngejar sampai penonton mau.

Tradisi Mepe Kasur, Barong Ider, dan Tumpeng Sewu di Desa Kemiren

Tradisi yang telah dan masih dilakukan masyarakat Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi adalah Mepe Kasur. Tradisi penduduk asli Using ini yakni menjemur kasur secara bersamaan di sepanjang depan rumah warga sebelum dilaksanakan Tumpeng Sewu, pada malam harinya.

Masyarakat Using yakin dengan mengeluarkan kasur dari dalam rumah dapat membersihkan diri dari segala penyakit. Bagi pasangan suami isteri, tradisi ini diartikan sebagai cara memberi kelanggengan karena setelah dijemur kasur akan bagus kembali, sehingga yang tidur seperti pengantin baru.

Usai  Mepe Kasur, masyarakat Desa Kemiren melanjutkan dengan tradisi bersih desa yakni arak-arakan barong. Mereka mengarak barong dari ujung Desa menuju ke batas akhir desa yang ada di atas, lalu melakukanziarah ke Makam Buyut Cili yang diyakini masyarakat sebagai penjaga desa.

Puncaknya, mereka menggelar selamatan Tumpeng Sewu pada malam hari. Setiap rumah di sana akan menyalakan obor dan mengeluarkan tumpeng buatan masing-masing masyarakat yang terdiri dari tumpeng dan pecel pithik alias ayam panggang dengan parutan kelapa.

Tradisi Gredoan di Desa Macan Putih

Masyarakat Osing di Desa Macan Putih pada umumnya, terbiasa melakukan pernikahan dalam desanya sendiri atau sukunya sendiri. Salah satunya tradisi perjodohan adalah gredoan yang berasal dari bahasa Using yaitu gredu atau bahasa Jawa kuno gridu yang artinya menggoda.

Tradisi Gredoan setiap tahun dilaksanakan tepat pada bulan Maulud Nabi Muhammad SAW. Saat itu, wanita dan pria yang belum menikah akan mengirim kode komunikasi dengan menggunakan pantun atau lidi dari rumahnya untuk menunjukan ketertarikan masing-masing. (Ari bp)

BERITA TERKINI