<

5 Kunci Sukses Untuk Optimalkan Gas RI, Hulu ke Hilir

INDONESIAPOS

Perintah Presiden Jokowi tentang peninjauan harga gas domestik yang mahal harus segera disikapi para pemangku kepentingan, baik kalangan birokrat, para investor hulu migas maupun pelaksana industri hilir.

Pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa karena alasan ekonomis dan kepastian kemampuan serapan konsumen, maka produsen sakaligus investor hulu akan lebih tertarik untuk menjual gas keluar negeri dalam bentuk cair sebagai LNG, dibandingkan dijual didalam negeri sebagai bahan baku produk kimia.

Masalah klasik pada industri gas tanah air sering bersumber pada dua hal utama, yaitu harga keekonomian dan ketersediaan infrastruktur. Neraca keseimbangan keekonomian investor hulu dan industri hilir mustahil akan dicapai bila pihak pertama berusaha menjual gas sesuai keekonomian plus margin keuntungan yang tinggi, tapi dipihak kedua ingin membeli dengan harga yang rendah untuk nantinya mendapatkan margin penjualan produk jadi yang besar juga.

Ketersediaan infrastruktur gas yang memadai juga masih menjadi hambatan yang berperan pada tingginya harga gas di konsumen, pusat pusat produsen gas besar sekarang lebih banyak diderah terpencil misalnya kilang LNG Tangguh di Papua dan nantinya LNG Abadi Masela di Maluku Tenggara Barat, jauh dari market pusat berkembangnya industri misalnya Jawa dan Sumatera.

Gambaran ketidaksiapan instruktur gas bisa dilihat dari kenyataan rantai penjualan gas dalam bentuk LNG Tangguh yang diterima di terminal penerima Gas Arun Aceh dengan harga sekitar 7 dolar/mmbtu, setelah melewati berbagai moda transportasi seperti kapal laut dan truk pengangkut LNG meningkat harganya menjadi sekitar 20 dolar/mmbtu saat akan dikonsumsi oleh hotel di Jakarta dan Bandung. Berbagai usulan dan terobosan telah dilakukan, tetapi pada kenyataannya belum juga memberikan hasil optimal, dan salah satu komponen yang menghambat adalah karena masih dipertahankannya ego sektoral yang akhirnya menjadi kendala.

Integrasi misi dan KPI yang berbeda dari para pemangku kebijakan.

Sudah bukan rahasia lagi kalau setiap pemangku kebijakan mempunyai target KPI dan berlomba untuk mencapainya.

Kondisi aktual yang sering terjadi misalnya penentuan harga jual beli gas, pada beberapa rencana pengembangan petrokimia selalu mensyaratkan harga gas yang cukup rendah misalnya sekitar 3 dolar/mmbtu untuk mendukung tingkat keekonomian produk turunan gas, hal ini tentu saja akan sulit dipasok oleh investor hulu yang katakanlah untuk pengembangan lapangan lepas pantai membutuhkan keekonomian penjualan harga gas sekitar 6 dolar/mmbtu, jalan tengah negoasiasi rasanya akan sulit untuk dicapai, kecuali salah satu pihak harus merugi.

Kondisi ini sebenarnya dapat dimitigasi dengan cara misalnya memindahkan prospek keuntungan industri hilir untuk menutup berkurangnya pendapatan di sisi hulu. Meminta investor hulu untuk merugi tentunya akan sulit, karena investor telah menentukan keputusan pengembangan suatu wilayah kerja sebagai portofolio bisnis dengan asumsi keuntungan keekonomian yang akan dicapai.

Dengan demikian yang dapat dilakukan untuk menurunkan harga jual gas untuk pasokan domestik adalah dengan mengurangi pendapatan bagian Pemerintah dari hasil penjualan gas sektor hulu, dan sebagai gantinya nanti akan diperoleh keuntungan untuk Pemerintah yang berlipat dari hasil pengembangan industri hilir, misalnya untuk menghasilkan produk turunan petrokimia, yang sampai sekarang memerlukan biaya yang besar untuk import komoditi tersebut.

Diskusi untuk membuat formula harga jual beli gas sebagai fungsi harga jual produk kimia turunan sudah dilakukan dan dilaksanakan pada kontrak jual beli, tetapi masih belum menjadi tolak ukur yang menarik bagi investor hulu maupun hilir. Transparansi dan keterbukaan diperlukan untuk saling memahami dasar dasar perhitungan yang menjadi basis keekonomian semua pihak yang berkepentingan, disamping perlu didukung kesadaran dan semangat untuk mementingkan tujuan nasional dengan menghilangkan ego dan kepentingan sectoral. Seperti misalnya kepentingan yang diemban salah satu kementrian teknis untuk mendapatkan pendapatan semaksimal mungkin dari penjualan migas pada sektor hulu, tentu akan bertolak belakang dengan kepentingan kementrian teknis lainnya yang juga perlu memaksimalkan penjualan produk turunan berbasis gas dengan cara membeli bahan baku gas semurah mungkin.

Kunci penyelesaian adalah menciptakan pendapatan agregat negara yang dihasilkan dari pengembangan gas hulu sampai kehilir yang menguntungkan, tidak saja saja dari nilai tambah gas menjadi bahan produk, tetapi juga mengurangi kebutuhan import.

Integrasi Pembangunan Infrastruktur Gas

Pengembangan bisnis gas harus selalu dilihat sebagai sebuah kesatuan infrastruktur dari mulut sumur sampai pengguna akhir, karena ketersediaan cadangan gas tidaklah mempunyai nilai ekonomi sampai dapat disalurkan kepada market dengan harga terjangkau.

Ketersediaan infrastruktur jaringan gas nasional masih sangat terbatas, walaupun produksi gas nasional terutama dalam bentuk LNG saat ini cukup berlimpah, tetapi pasokan gas untuk beberapa lokasi industri masih sulit terpenuhi.

Pembangunan infrastruktur untuk mendukung utilisasi gas untuk industri ataupun bahan bakar pembangkit akan lebih efisien dan cepat bila dikembangkan secara integrasi lintas kementrian fungsi teknis.

Dalam hal utilisasi LNG untuk daerah terpencil misalnya, akan sangat tidak ekonomis bila misalnya PLN sebagai pembeli dan pengguna gas, harus membangun pelabuhan untuk terminal penerima, menyiapkan kapal kapal kecil distribusi LNG atau menyiapkan terminal hub LNG ditengah laut, dimana sebenarnya dukungan infrastruktur tersebut bisa dibangun oleh fungsi kementrian teknis lainnya, disesuaikan dengan rencana pengembangan daerah, dan rencana induk transportasi dan distribusi gas oleh Pertamina dan PGN. Rencana besar infrastruktur nasional perlu mensikronisasi semua aspek pendukung ekonomi, mulai jalan raya, listrik, pelabuhan, alat transportasi, juga infrastruktur untuk mendukung ketersediaan pasokan bahan bakar dan bahan baku, sehingga menjadi satu kesatuan tindak lanjut yang terencana dan terukur.

Regulasi Sampai Monopoli Negara yang Perlu Diwaspadai

Kejelasan sistem dan regulasi : Bisnis gas nasional akan berkembang dengan dukungan faktor non teknis dan komersial seperti, kejelasan pijakan hukum yang tidak sering dirubah, tidak adanya peraturan serta pengurusan perijinan yang berbelit dan tumpeng tindih, serta perlunya aparat birokrat yang berintegritas. Pemberian konsesi dan pengecualian kebijakan terkadang dipandang sebagai hal yang tidak konsisten dan transparan, bahkan terkadang melanggar peraturan atau kesepakatan yang sudah diterbitkan sebelumnya.

Pengurusan perijinan untuk kegiatan pengembangan migas dari hulu sampai hilir perlu disederhanakan, dan tanpa meninggalkan kepentingan bangsa, maka sistem dan peraturan yang dibuat harus mempertimbangkan tantangan dan peluang kedepan, serta dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak terutama investor. Perlu dihindari terbitnya peraturan yang bersifat situasional, bersifat coba-coba dan memaksakan kehendak. Evaluasi yang mendalam, masukan dari berbagai pihak, serta benchmarking perlu dilakukan untuk menghasilkan sistem dan aturan yang tepat sasaran. Sistem dan peraturan yang dibuat harus mampu diterapkan dilapangan dan sesuai dengan kondisi migas nasional, karena pengembangan setiap sumber migas bersifat unik, dan karena situasi dan tantangan yang berbeda maka adaptasi sistem yang berhasil dikembangkan di negara lain tidak serta merta dapat langsung diterapkan di Indonesia. Aturan dan instrument fiskal yang diberlakukan di sektor hulu hendaknya memberikan pilihan yang menarik bagi para investor untuk nantinya bebas menggunakan mekanisme yang dirasa lebih sesuai dengan porto folio perusahaan dan resiko finansial yang dihadapi.

“Sistem dan aturan yang dibuat harus terintegrasi dan memiliki kepastian untuk mendukung pengembangan migas nasional, sehingga pelaksanaannya tidak bergantung pada siapa yang berwenang membuat dan melaksanakan kebijakan, dan memberikan kebebasan pada investor untuk memilih mekanisme yang lebih sesuai “.

Pengembangan industri berbasis gas yang lebih kompetitif dan strategis

Hal lain yang dapat mempengaruhi tingginya harga jual gas juga karena disebabkan tidak kompetitifnya biaya operasi karena masih difungsikannya fasilitas yang sudah lama, dimana dibutuhkan biaya perawatan yang tinggi dan sering mengalami kendala operasi sehingga mengganggu ketersinambungan operasi produksi. Perkembangan teknologi pengolahan gas dan komputerisasi saat ini memberikan banyak opsi untuk memilih teknologi yang lebih efisien dan tepat guna, dan didukung kemajuan teknologi material memungkinkan peralatan pada saat ini dibuat lebih kuat, lebih ringan, dan adaptif sehingga mampu beroperasi lebih handal. Kajian strategis terkait hal teknis dan keekonomian perlu dilakukan untuk mencari terobosan baru, misalnya dengan melihat opsi apakah biaya yang dikeluarkan untuk peremajaan peralatan atau membangun baru fasilitas dapat memberikan nilai efisiensi biaya jangka panjang yang lebih menguntungan dan kompetitif, dibandingkan mempertahankan fasilitas lama.

Pengembangan industri kimia turunan atau Gas to Liquid (GTL) dilakukan secara bertahap berdasarkan skala prioritas sehingga secara bertahap dapat mengurangi komoditas import, memberikan perasaan aman pada investor hilir terkait kepastian pasokan, dan kepastian serapan dengan harga yang pantas pada investor hulu. Dalam hal penyediaan sumber energi atau untuk mendukung industri berbasis gas, perlu dilakukan kebijakan tepat guna misalnya dengan memilih opsi membangun pembangkit listrik berbahan bakar gas di daerah sumber gas dan menyalurkan energi litrik yang dihasilkan menggunakan kabel listrik bawah laut, ataukah dengan membangun hub LNG untuk memasok gas pada pembangkit listrik yang dibangun pada daerah terpencil. Opsi distribusi LNG dengan menggunakan kapal kapal kecil menjadi menarik dengan mempertimbangkan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Penempatan pusat industri petrokimia di daerah dekat sumber gas, pada satu sisi memberikan kemudahan atas ketersediaan pasokan gas sebagai bahan baku, tetapi disisi lain tetap membutuhkan biaya transportasi untuk pengangkutannya menuju lokasi market, baik sebagai barang jadi atau barang separo jadi. Kajian telah sering dilakukan, tetapi pelaksanaannya memerlukan aksi yang bersifat sinergi antar semua pihak.

“Konsep klaster untuk membuat sinkronisasi wilayah pasokan sumber gas dengan rencana industri spesifik tertentu yang akan dibangun, dapat membantu memudahkan strategi pemenuhan pasokan serta mengurangi biaya infrastruktur yang akan dibangun”.

Mengurangi monopoli pengelolaan pengusahaan industri gas oleh Perusahaan Negara

Pengembangan sumber energi dan industri berbasis gas perlu dilakukan secara serentak oleh semua komponen bangsa yang mempunyai kemampuan dalam bidang industri gas, baik sebagai investor, distributor, maupun pengguna, sesuai dengan kesiapan skala ekonomi masing masing. Kegiatan pengusahaan gas yang langsung berpengaruh pada usaha kemandirian energi nasional yang merupakan bagian dari unsur ketahanan negara memang sebaiknya langsung ditangani oleh perusahaan negara, tetapi pengusahaan gas dalam skala menengah bahkan kecil akan lebih efisien bila dilakukan oleh pihak swata nasional. Proses pengambilan keputusan dapat dilakukan cepat karena perusahaan swasta akan fokus dan mampu beradaptasi secara cepat mengatasi perubahan dan tantangan yang sering berubah di lapangan. Memberikan kesempatan pengelolaan gas berskala menengah dan kecil pada perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang usaha hilir, baik transportasi dan distribusi akan memberikan dampak mempercepat proses realisasinya, karena margin kekonomian yang menjadi basis perhitungan keuntungan tidak serumit dan sebesar perusahaan negara yang bersifat korporasi, sehingga akan lebih kompetitif.

Aturan untuk membuat klasifikasi pengusahaan gas perlu dilakukan untuk memudahkan perusahaan swasta sebagai investor mengidentifikasi kemampuan finansialnya sehingga dapat menetapkan dibidang mana akan berusaha, klasifikasi dapat dilakukan misalnya dengan memberi batasan pengusahaan gas sesuai besaran volume gas yang akan dikelola, aturan yang diberlakukan juga perlu memberikan kepastian alokasi gas, terutama bagi perusahaan swasta yang juga akan membangun infrastruktur. Diberinya kesempatan bagi perusahaan swasta untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan gas dalam skala menengah dan kecil nantinya akan membuka ruang bagi berkembangnya perusahaan pendukung lainnya, misalnya transportasi, distribusi dan penyimpanan, disamping tentunya membuka lapangan pekerjaan disemua rantai indutri yang menyertainya.

“Diberinya kesempatan perusahaan swata untuk berpartispasi dalam pengelolaan gas berskala menengah dan kecil akan mendukung industri berbasis gas akan lebih kompetitif dan efisien.”

Kini, untuk kesekian kalinya Presiden Jokowi kembali menyatakan bahwa “Tidak ada misi Menteri, yang ada hanyalah misi Presiden”, bila semangat ini diimplementasikan dengan seksama maka dapat diharapkan bahwa gas alam produksi Indonesia akan lebih banyak terserap untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan harga lebih terjangkau. Untuk ini diperlukan pihak yang akan menjadi dirigen untuk mengharmonisasikan semua kepentingan menjadi hanya satu tujuan yang harus dicapai …Misi Preside. (Agoes Sapto/cnbc)

BERITA TERKINI