INDONESIAPOS –
BICARA persoalan banjir di Indonesia seperti tidak ada habisnya. Tiap kali hujan deras semalaman hingga esok harinya, ada saja wilayah yang terendam banjir. Banjir menjadi bencana rutin di banyak daerah.
Terminologi itu mestinya perlu ditinjau kembali. Bencana kok rutin. Kerutinan ini sesungguhnya menunjukkan ketidakbecusan mengatasi persoalan banjir secara tuntas.
Ibu Kota selayaknya menjadi barometer. Bila di Ibu Kota negara saja banjir masih begitu mudahnya berkunjung, tentu tidak mengherankan bila di wilayah lain terjadi hal serupa. Harus disadari pula, mengatasi persoalan banjir tidak mudah. Intinya perlu keberlanjutan program kebijakan dari waktu ke waktu.
Salah satu program yang menjadi andalan ialah normalisasi aliran sungai di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Sungai-sungai dilebarkan dan diperdalam untuk menambah daya tampung sekaligus memperlancar aliran air. Jalan-jalan inspeksi dibangun di beberapa area tepi sungai demi mempermudah penanganan air dan perawatan sungai.
Sayangnya, program yang dimulai pascabanjir bandang 2012 sebagai proyek kolaborasi pemerintah pusat, Pemprov DKI, dan Pemprov Jawa Barat itu mandek dua tahun belakangan. Untuk Sungai Ciliwung saja baru setengahnya yang sudah ternormalisasi dari total yang direncanakan sepanjang 33 km.
Perbedaan pandangan mengatasi banjir telah membuat normalisasi sungai terhenti. Pemprov DKI Jakarta kini enggan menggusur permukiman warga. Padahal, normalisasi sungai mau tidak mau memerlukan lahan yang sebagian diduduki warga.
Pembebasan lahan tidak dilanjutkan. Tidak mengherankan bila sejak 2017 serapan anggaran pengendalian banjir tergolong rendah. Kemudian, anggaran itu terus dipangkas dengan alasan serapan rendah.
Pemprov DKI Jakarta lebih memilih program naturalisasi yang tidak jelas juntrungannya. Alasannya hanya satu, tidak perlu menggusur. Padahal, yang diperlukan sebetulnya ialah memformulasikan program kompensasi yang tepat. Tujuannya agar penggusuran permukiman tidak lagi menjadi mimpi buruk bagi warga yang terdampak. Bukan malah menyetop program pelebaran sungai.
Betul, bahwa persoalan banjir tidak bisa hanya diatasi dengan normalisasi sungai. Penanganan di hulu juga harus dilakukan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Mengandalkan dua waduk baru, yakni Waduk Ciawi dan Waduk Sukamahi, saja tidak cukup. Ibu Kota juga masih harus membenahi jaringan drainase untuk memperpendek waktu antrean air masuk ke sungai.
Program sumur-sumur serapan yang digalakkan Pemprov DKI sejak 2017 pun sebaiknya terus dilanjutkan. Pelibatan masyarakat secara luas akan membuat program sumur serapan jauh lebih efektif mengurangi potensi banjir dan kekurangan air di musim kering. Iringi dengan edukasi yang menggugah kesadaran warga agar tidak membuang sampah sembarangan.
Apa yang baik lanjutkan, apa yang buruk tinggalkan. Jangan hanya karena gengsi politik, pemimpin lantas ogah meneruskan program warisan pedahulunya yang sudah baik.
Singkirkan pula ego daerah. Dalam mengatasi banjir Ibu Kota dan sekitarnya, pemerintah pusat, Pemprov DKI, serta Pemprov Jawa Barat bersama Kota Bekasi dan Bogor, harus terus menyelaraskan pandangan dan kebijakan. Demi rakyat, sudahi berlangganan bencana banjir.
#DKI Melek Banjir.