JEMBER, IndonesiaPos – Kredibilitas Intitusi Kejaksan menjadi sorotan publik, setelah terkuaknya penyebab Kepala Kejaksaan Negeri Jember berinisiatif memediasi konflik politik antara Bupati dan DPRD Jember terkait macetnya pembahasan APBD.
Seperti diberitakan sebelumnya, langkah Kajari tersebut, atas perintah salah satu Direktur di Kejaksaan Agung yang menindaklanjuti surat pengaduan masyarakat berkop Yayasan Puspa Melati Jember kepada Kejaksaan Agung tanggal 17 Februari 2020.
Hasil penelusuran IndonesiaPos, Yayasan Puspa Melati itu ternyata milik M.Husni Thamrin, seorang pengacara yang sebelumnya diketahui menjadi penasehat hukum dari Slamet Mintoyo, penggugat Cityzen Law Suit terhadap digunakannya Hak Angket oleh DPRD dan juga penasehat hukum dari Camat Tanggul yang divonis bersalah oleh Bawaslu dan KASN karna terbukti melakukan kampanye untuk Bupati Faida (Petahana).
BACA JUGA : Supremasi Hukum di Tahun Politik, Uji Nyali Kejaksaan Negeri Jember
Melalui saluran telpon, Thamrin menyampaikan “Surat yang saya kirimkan itu sifatnya himbauan. Dan surat itu tidak hanya ditujukan kepada Jaksa Agung. Saya kirimkan surat itu kepada semua pimpinan lembaga tinggi negara. Mulai Presiden, Ketua DPR RI, Pengawas Keuangan, Mendagri, Menpan, Jaksa Agung, Kapolri, dan Gubernur. Tembusannya kepada DPRD Jatim, BPK Jatim, Kapolda, Kajati, Bupati, Kajari, Kapolres dan Ketua Pengadilan. Dasarnya, konflik di jember ini berakibat kepada nasib masyarakat Jember keseluruhan, sehingga banyak program pemda terlantar. Kalau konflik ini berkelanjutan yang rugi masyarakat juga. Surat saya itu sifatnya Himbauan kepada para petinggi di negeri ini agar turun tangan, memediasi menyelesaikan konflik tersebut, demi rakyat Jember” ujarnya.
Bupati Faida Saat Berada di Kejaksaan Negeri Jember.
“Saya tidak tahu mengapa justru Kejaksaan Agung yang merespon surat saya. Harapan saya, agar banyak pakar dari kampus-kampus besar di Jember ini mau turut berperan serta untuk menyelesaikan konflik ini. Masak Yayasan saya yang sekecil ini saja yang bergerak” pungkasnya.
Terpisah, aktivis gerakan anti korupsi senior Bambang Irawan atau yang lebih dikenal dengan Bambang Elpamas, menyayangkan apa yang dilakukan oleh Kajari Jember. Ia menilai langkah Kajari tersebut dengan kalimat singkat “Gegara mengejar citra , harkat & martabat dikorbankan” ujarnya singkat.
Sementara, Alfin Rahardian Sofyan, SH, MH. Pengamat Politik Hukum dari Pasca Sarjana Universitas Negeri Jember juga menyesalkan apa yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan
“Sesuai dengan Kode etik profesi jaksa yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per–014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Etik Perilaku Jaksa, Secara etika profesi hukum pada Kejaksaan yang secara Jabatan fungsional, Jaksa adalah bersifat keahlian teknis yang melakukan penuntutan” ujarnya melalui pesan WA pada IndonesiaPos.
BACA JUGA : Kejari Bondowoso di Uji Nyalinya Usut Tuntas Proyek Saluran Air Bawah Tanah
“Bahwa dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, Jaksa wajib bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, terutama terkait permasalahan politik serta tekanan atau ancaman opini publik secara langsung atau tidak langsung” sambungnya.
“Jaksa itu bertanggung jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran” sambungnya.
“Harusnya pihak kejaksaan tidak boleh membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan hukum apalagi dalam ranah politik. Dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa semata-mata dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, untuk itu jaksa tidak diperbolehkan membuat pernyataan yang dapat merugikan penegakan hukum kepada publik. Apalagi Kejaksaan Jember sedang menangani kasus korupsi yang ditengarai melibatkan Bupati Jember. Maka sangat disayangkan sekali ketika kejaksaan melakukan koordinasi kepada pihak pemerintahan terutama kepada Bupati, dimana kasus yang ada merupakan kasus yang terjadi dikalangan eksekutif itu sendiri. Jadi terlepas alasan koordinasi atau alasan apapun, Kejaksaan harusnya tidak melakukan itu, karena bisa menimbulkan opini liar ditengah publik terhadap program penegakan hukum yang sedang berlangsung” pungkasnya. (Kus)