Editorial : Redaksi IndonesiaPos
Carut marut birokrasi di Bondowoso nampaknya belum menunjukkan gejala akan berakhir. kekacauan, sengkarut dan kesemerawutan warisan dari sekda terdahulu (Syaifullah) seakan diteruskan oleh pejabat saat ini. Yang terbaru adalah proses open bidding terhadap 14 opd yang baru saja menyelesaikan tahap pengumuman akhir 3 besar. Dari proses ini kami mencermati banyak penyimpangan, mulai dari seleksi administrasi hingga tahap wawancara akhir.
Mengutip website resmi BKD Bondowoso perihal pengumuman seleksi terbuka JPT Pratama Kabupaten Bondowoso, disebutkan bahwa dasar aturan pelaksanaan open bidding ini diantaranya adalah uu no 5 tahun 2014 tentang asn, pp no 11 tahun 2017 tentang manajemen pns, permenpan nomor 15 tahun 2019 tentang pengisian jpt, serta se menpan dan rb nomor 52 tahun 2020 yang mengatur tentang mekanise pelaksanaan open bidding di masa kedaruratan covid-19. artinya jelas bahwa pelaksanaan open bidding tidak boleh melenceng dari regulasi tersebut. Namun pada kenyataannya sejak tahapan awal yakni seleksi administrasi sudah ditemukan banyak pelanggaran yang terjadi. hal yang kami cermati yakni :
- kualifikasi pendidikan untuk masing-masing formasi jabatan persyaratan pelamar jpt pratama sebagaimana disebutkan dalam pengumuman awal adalah berijasah minimal sarjana atau diploma IV, tanpa disebutkan dengan jelas kualifikasi dan spesifikasi untuk masing-masing jabatan. Hal ini mengindikasikan kelonggaran yang diberikan oleh pansel kepada peserta tertentu untuk bisa melamar pada beberapa formasi jabatan. Yang terjadi selanjutnya ada beberapa peserta yang kualifikasi pendidikannya tidak sesuai dengan formasi jabatan yang dilamar. Ironisnya, Pansel meloloskan pelamar itu ke tiga besar, sehingga menambah persoalan baru. Bahkan ada peserta yang loloskan di tiga OPD, ini sangat luar biasa.Kami mencoba menelusuri persyaratan kualifikasi pendidikan dimaksud, dan kami mendapat petunjuk bahwa hal ini sudah diatur dalam Kepmenpan nomor 409 tahun 2019 tentang standar kompetensi JPT di lingkungan instansi pemerintah. Dalam keputusan ini diatur dengan jelas persyaratan untuk dapat menduduki JPT baik di instansi pusat maupun instansi daerah. Mulai dari kualifikasi pendidikan hingga standar kompetensi lainnya. Artinya, dalam tahapan ini jelas pansel sudah melanggar regulasi.
- Syarat pengalaman kerja kumulatif minimal 5 tahun, beberapa waktu yang lalu Pansel melakukan press release terkait ramainya pemberitaan dan pertanyaan terkait hal ini. Dalam kesempatan tersebut Pansel yang diwakili oleh Asisten III, Wawan Setiawan, menjelaskan bahwa semua berkas sudah diteliti dengan cermat, termasuk pengalaman kerja juga sudah dihitung dengan teliti sesuai dengan data yang ada. lebih lanjut Wawan mencontohkan seorang Camat yang melamar posisi inspektur, ada keterkaitan tugas jabatan sehingga Camat tersebut dapat dikatakan memenuhi syarat. Namun di sisi lain, khususnya untuk lembaga teknis seperti misalnya Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman jelas ada peserta yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Karena tugas jabatan pada lembaga teknis tentu sangat jauh berbeda dengan tugas jabatan pada lembaga/OPD lainnya. Sayangnya Wawan tidak memberi kesempatan lebih panjang kepada awak media untuk bertanya lebih lanjut.
- persyaratan khusus untuk formasi kepala Satpol PP dalam surat Rekomendasi kasn tertanggal 5 maret 2021 nomor : B/1041/KASN/3/2021, perihal Rekomendasi perubahan rencana seleksi terbuka JPT Pratama di lingkungan pemerintah kabupaten Bondowoso disebutkan persyaratan khusus untuk jabatan kepala Satpol PP. hal ini sesuai dengan PP nomor 16 tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, yang mensyaratkan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Kepala Satuan Polisi Pamong Praja harus memiliki kualifikasi sebagai PPNS.
Jika mengacu pada rekomendasi KASN tersebut, sulit untuk menemukan kandidat peserta yang memenuhi kualifikasi dimaksud. Menurut pantauan kami dari, dari 4 peserta hanya satu yang memiliki kualifikasi tersebut yaitu sdr. Slamet Yantoko. Sementara peserta lainnya tidak memiliki kualifikasi sebagai PPNS sebagaimana disyaratkan PP nomor 16 tahun 2018 dimaksud. Namun kenyataannya, seluruh peserta yang melamar pada formasi tersebut diloloskan.
Pada tahapan selanjutnya, yaitu seleksi kompetensi manajerial, panitia memutuskan untuk melaksanakannya di BKD Provinsi Jawa Timur dengan sistem Assessment Center. Dalam pelaksanaannya, peserta dibagi menjadi 2 kelompok untuk 2 hari pelaksanaan tahapan ini di surabaya. Padahal, dalam pengumuman awal, pansel mencantumkan surat edaran Menpan RB nomor 52 tahun 2020 yang mengatur tentang pengisian JPT dalam masa kedaruratan covid-19.
Seharusnya tahapan ini dapat dilaksanakan melalui video conference (daring). Assessment Center secara daring ini telah beberapa kali oleh tim Assessor Provinsi Jawa Timur. di sisi lain, jika Assessment Center dilakukan secara daring tentunya dapat menghemat waktu dan tenaga pansel serta peserta seleksi. Menjadi aneh, dasar aturan yang dicantumkan sendiri namun kenyataannya tidak diacuhkan dan tidak dilaksanakan. Atas beberapa kekacauan pelaksanaan ini, pansel berupaya mencari pembenaran dengan menghadirkan pejabat dari KASN. Kegiatan yang dikemas dalam acara pengarahan dari KASN ini seakan menjadi ajang pembenaran pansel atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Dalam keterangannya kepada beberapa wartawan, pejabat KASN menyampaikan apresiasi atas kinerja pansel JPT Pratama Kabupaten Bondowoso. KASN menyampaikan bahwa sesuai dengan laporan dari Pj. Sekda, seluruh tahap proses open Bidding ini sudah sesuai dengan regulasi yang ada. Padahal, secara kasat mata pelanggaran regulasi ini sudah dulakukan oleh pansel sejak tahapan awal open bidding. Mungkin pansel berpikir jika KASN sudah menyatakan bahwa proses Open Bidding sudah sesuai dengan regulasi, artinya pansel akan “Aman”.
Setelah mendapat pengarahan dari KASN, Pansel melanjutkan proses Open Bidding dengan agenda wawancara akhir. di sini kami juga melihat banyak indikasi pelanggaran regulasi, atau setidaknya indikasi konflik kepentingan. Bagaimana tidak, proses seleksi dari awal hingga wawancara akhir ini, tidak seorang punpeserta yang gugur. Logika sederhana yang kita pakai adalah untuk apa dilakukan tahapan-tahapan yang rumit jika tidak ada hasilnya.
Setidaknya dari tiap tahapan seleksi sudah bisa disaring peserta yang lolos atau memenuhi standar nilai untuk mengikuti tahapan selanjutnya. dan hal ini tentunya juga akan lebih efisien, baik dari sisi waktu maupun anggaran yang dikeluarkan. dal hal ini, lagi-lagi pansel mempunyai argumen “Pembenaran” lainnya. Pansel beralasan bahwa setiap peserta berhak mengikuti seluruh tahapan seleksi.
Namun tentunya pembenaran ini seperti omong kosong saja. Disini kita berbicara tentang proses Open Bidding, seleksi untuk menyaring calon pimpinan OPD, bukan berbicara tentang hak asasi manusia. Jika dalam satu tahapan seleksi seorang peserta sudah bisa dilihat memperoleh nilai terendah, untuk apa diikutkan dalam tahapan seleksi berikutnya. Hanya akan jadi pemborosan tenaga dan waktu peserta serta anggaran yang dikeluarkan oleh Pemkab.
Dari seluruh tahapan “Super Open Bidding” ini, pansel akhirnya mengumumkan 3 besar nama yang lolos untuk tiap formasi jabatan. Di tahap akhir ini, anomali kembali terjadi. beberapa peserta potensial yang diperkirakan lolos ternyata gugur. di sisi lain, peserta yang “biasa-biasa saja” justru lolos. bahkan ada peserta “SUPER” yang lolos pada 3 formasi jabatan sekaligus, walaupun sebenarnya tidak memenuhi persyaratan dan kualifikasi sesuai aturan yang berlaku. entah standar penilaian seperti yang dipergunakan oleh pansel, Wallahu a’lam.
Yang pasti kita semua menginginkan proses Open Bidding yang kompetitif, transparan dan akuntabel sehingga mampu menghasilkan sosok pemimpin OPD yang mumpuni dan memiliki integritas yang tinggi. Dapat dibayangkan bagaimana sosok pimpinan yang dihasilkan dari proses Open Bidding yang semerawut seperti yang terjadi di Bondowoso saat ini. semoga saja KASN yang mengemban amanah UU ASN- kali ini mampu menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan regulasi yang ada. bukan sekedar “Membalas” surat usulan rekomendasi dari Pemerintah Daerah dan mengeluarkan rekomendasi seakan-akan semuanya sudah berjalan sesuai treknya.
Kami juga berharap Bupati selaku pejabat pembina kepegawaian dapat berlaku lebih arif, sehingga bisa memahami hal ini secara utuh. jangan hanya mendengar penjelasan dari segelintir anggota pansel yang mencari “Panggung” demi menaikkan popularitasnya. karena bagaimanapun juga pada akhirnya Bupati juga yang akan “Memakai” jasa pejabat hasil Open Bidding ini. (Penulis : Relawan Merah Putih)