JAKARTA, IndonesiaPos – Anggota Komisi lV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Sonny T Danaparamita menyinggung soal sistem digitalisasi PLN yang dianggap masih tidak mencakup aspek transparansi secara menyeluruh. Pernyataan tersebut disampaikan Sonny dalam RDP antara komisi lV DPR RI dan Dirut PLN , Senin (28/03/2022).
Menurut Sonny, sistem digitalisasi yang telah dijalankan oleh PLN sejauh ini hanya sebatas soal transparansi penggunaan daya listrik pada pelanggan. Namun untuk cakupan pada sektor lain, transparansi yang dilakukan PLN masih tidak ada.
“Kalau seperti yang disampaikan tadi saya lihat digitalisasi yang di lakukan PLN ini hanya sebatas pada aspek transparansi untuk pelanggan saja. Menurut Saya, digitalisasi ini tidak hanya untuk kebutuhan transparansi pada pelanggan, tetapi harus dapat menunjang transparansi pada semua sektor. ” Kata Sonny.
Politisi PDI Perjuangan asal Dapil lll Jatim ini mencontohkan, bagimana PLN masih belum bisa transparan dalam menginformasikan sesuatu, seperti soal perkembangan dari program pembangkit listrik 35.000 Megawatt, yang dicanangkan Presiden Jokowi tahun 2015, dimana PLN memberikan update terakhir dari program tersebut, di tanggal 26 September 2018, namun update perkembangan terbaru hingga kini belum ada.
Tidak adanya transparansi dari pihak PLN, lanjut Sonny, maka pengawasan publik akan lemah, dan hal itu dapat menjadi celah terjadinya pelanggaran, kecurangan, bahkan berpotensi besar terjadi korupsi di tubuh PLN.
“Sebab jika dilihat dari kurun waktu 2010-2018, PLN menempati posisi pertama di BUMN dengan kasus korupsi terbanyak yaitu 21 kasus,”tegas politisi asal kota Blambangan Banyuwangi ini.
Sonny menegaskan, imbas dari belum adanya transparansi di PLN ini terbukti dari BPK yang mencatat adanya 79 temuan bermasalah di tubuh PLN.
“Dengan rincian jumlah temuan BPK yang berkaitan dengan kelistrikan dan batu bara meliputi, anak perusahan PLN 10 temuan, Harga Stok 13 temuan, pembangunan infrastruktur, 19 temuan dan yang terbanyak terkait dengan pembangkit listrik 36 temuan, untuk itu kami komisi lV butuh penjelasan soal itu” Ungkap Sonny.
Waketum DPP PA GMNI ini memaparkan, bahwa sampai tahun 2020, pembangkit listrik milik swasta (IPP) di Indonesia mencapai hampir 50 persen.
“Maka sesuai dengan Permen ESDM No 10 tahun 2017, tentang pokok-pokok jual beli tenaga listrik, bahwa listrik yang dipasok IPP harus tetap dibayar kendati digunakan,”tegasnya.
Meski demikian, tambah Sonny, tentu akan menjadi beban berat bagi PLN, sebab dengan skema take or pay, anatara PLN dengan IPP akan membuat pasokan listrik nasional mengalami oversupply. Hingga Juni 2021 daya pasok listrik nasional mencapai 42.871 MW, dengan beban puncak pemakaian mencapai 38.081MW, sehingga terdapat surplus hingga 4.780 MW yang harus tetap dibayar kendati tidak digunakan.
” PLN akan semakin mengalami tekanan dalam hal kerjasama dengan IPP, sebab dengan skema take or pay akan meningkatkan oversupply pasokan listrik nasional. Oleh sebab itu skema take or pay ini harus ditinjau kembali, sehingga tidak hanya menguntungkan IPP dan justru merugikan PLN” Terangnya.