JAKARTA, IndonesiaPos – Bayangan krisis ekonomi kian terlihat nyata. Tengoklah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang kian merosot sepanjang Oktober 2022. Kurs rupiah bahkan sempat menyentuh 15.610 per dolar AS, menjadikannya nilai terendah dalam hampir tiga tahun terakhir.
Sejumlah analis bahkan mencemaskan nilai tukar rupiah bisa merosot ke angka psikologis 16.000 per dolar AS. Mengapa 16.000 dikategorikan angka psikologis? Karena di kisaran angka itulah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di titik paling rendah.
Saat krisis moneter 1998 terjadi, rupiah terempas hingga mencapai 16.800 per dolar AS. Padahal, beberapa bulan sebelumnya nilai tukar rupiah masih di kisaran 2.500 per dolar AS. Angka psikologis itulah yang kini tengah dituju kendati lonjakannya tidak sedahsyat 24 tahun lalu.
Jasa Perahu Tambang Sungai Brantas Jadi Pilihan Alternatif Warga Kediri
Ada sejumlah sebab mengapa dolar AS terus menguat sehingga rupiah terus melemah. Namun, pemicu utama pelemahan rupiah ialah bank sentral AS (The Fed) yang sangat agresif menaikkan suku bunga. Sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin (bps), menjadi 3%-3,25% dan masih akan terus berlanjut. Selama 2022, The Fed telah lima kali menaikkan suku bunga acuannya. Pada Juni, Juli, dan September, kenaikannya masing-masing 75 bps.
Keagresifan The Fed menaikkan suku bunga acuan di tahun ini membuat selisih suku bunga acuan Bank Indonesia dan AS semakin tipis. Pasalnya, BI baru dua kali menaikkan suku bunga acuan dengan total 75 bps sepanjang 2022 menjadi 4,25%. Selisih suku bunga acuan antara BI dan The Fed yang semakin tipis ini jelas tidak menguntungkan bagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Telusuri Jalur Logistik Untuk IKN, Presiden Jokowi Naik KRI Escolar-871
Bila suku bunga acuan AS sama dengan suku bunga BI, tentu pelaku pasar akan lebih memilih aset dolar AS daripada aset rupiah. Mengapa? Karena status aman dari aset dolar AS yang lebih terjamin.
Penaikan suku bunga membuat aset dalam bentuk dolar AS semakin menarik, plus ditambah statusnya sebagai safe-haven assets (aset paling aman) membuat dolar AS diburu oleh investor seluruh dunia. Ini jelas tantangan berat bagi mata uang kita.
Apalagi, pada November nanti, The Fed yang notabene merupakan bank sentral paling powerful di dunia diperkirakan akan menaikkan lagi suku bunga acuan sebesar 75 basis poin menjadi 3,75%-4%. Tidak cukup sampai di situ, penaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Pengambilan Keputusan Dan Risiko Investasi Untuk Investor Pemula
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed akan berada di level 4,75%-5% pada Februari 2023.
Dengan agresivitas tersebut, indeks dolar AS terus meroket hingga menyentuh level tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Indeks ini merupakan tolok ukur kekuatan dolar AS. Semakin tinggi indeks artinya semakin perkasa mata uang itu. Alhasil, terjadilah capital outflow secara masif di pasar obligasi.
Situasi itu bisa dirunut berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko yang menunjukkan sepanjang tahun ini hingga 17 Oktober, investor asing menarik dananya dari pasar obligasi sekitar Rp166 triliun.
FIFA Sepakat Sepak Bola Indonesia Lakukan Transformasi Secara Menyeluruh
Dalam kondisi seperti itu, rupiah akan makin kesulitan untuk menguat. Lalu, apa akibatnya bila dolar AS makin perkasa sehingga rupiah kian ndlosor? Selalu ada dampak positif dan negatif. Namun, untuk kondisi saat ini, dampak negatif akibat penguatan dolar AS dan pelemahan rupiah tersebut jauh lebih besar ketimbang efek positifnya.
Efek positif datang dari barang ekspor, seperti komoditas dan energi. Namun, itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan efek inflasi bahan impor (imported inflation), yakni jenis inflasi akibat efek perubahan nilai tukar yang disebabkan oleh kenaikan harga barang impor. Gara-gara rupiah terkulai, semua harga barang, terutama barang impor seperti kedelai untuk tahu dan tempe, mesin pabrik, hingga ponsel dan laptop, menjadi lebih mahal.
WhatsApp Alami Gangguan Selama Satu Jam Ratusan Juta Pelangguna Bingung
Komoditas kedelai, misalnya. Indonesia mengimpor hampir 3 juta ton kedelai. Sebanyak 86% dari total angka impor tersebut berasal dari AS. Jadilah harga produk turunan kedelai, seperti tahu dan tempe, bakal terdongkrak. Juga harga produk lain seperti gandum, daging, dan bahan baku yang diimpor akan naik mengikuti kurs dolar AS.
Jika tidak dimitigasi, inflasi akibat harga pangan sulit terkendali. Dalam kondisi seperti itu, mengerem menggunakan mata uang dolar AS merupakan langkah bijak.
Langkah lain yang bisa dilakukan ialah mengupayakan transaksi dagang dengan tidak melulu menggunakan mata uang dolar AS. Atau, bisa pula menggiatkan barter barang dalam transaksi dagang tersebut.
Sama seperti saat krisis moneter pada 1998, langkah mendatangkan investasi ke berbagai daerah dan menggenjot potensi pariwisata di destinasi yang beragam akan membuat aliran kembali dolar AS ke Indonesia bisa diupayakan.
Upaya penaikan suku bunga oleh BI masih memungkinkan dilakukan, tapi sampai batas berapa? Jika kita ikuti genderang perang suku bunga, justru ancaman kemandekan ekonomi yang bakal terjadi.
Bupati Sampang Tandatangani Hibah Tanah Untuk Pengembangan Kampus Poltera
Ekonomi dunia memang diperkirakan suram tahun depan. Ekonom Nouril Roubini alias Dr Doom (ekonom yang presisi dalam meramal krisis finansial 2008) memprediksi resesi akan menghantam AS pada akhir 2022, sebelum menyebar secara global tahun depan.
Ia bahkan menyebut bahwa ini tidak akan menjadi resesi yang singkat dan dangkal. “Ini akan menjadi resesi yang parah, panjang, dan buruk,” kata Roubini.
Dr Doom mengatakan dunia akan menuju kebangkrutan besar-besaran dan krisis finansial yang berlarut-larut. Kini, sinyal terang itu makin benderang saat nilai tukar terus terguncang. Meskipun demikian, pesimisme bukan pilihan. Selalu ada jalan keluar jika mitigasinya benar. Semoga.