Editorial
Jelang penghujung tahun, kasus kekerasan seksual masih saja mewarnai pemberitaan di negeri ini, dengan dominasi korban adalah anak-anak.
Sebut saja, yang terjadi di Tolitoli, Sulawesi Tengah , dimana seorang pria berinisial NSR (50 tahun) ditangkap atas tuduhan pelecehan seksual beberapa kali kepada seorang perempuan anak bawah umur.
Di wilayah lainnya, tepatnya Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pria berinisial HCP (26) ditetapkan buron setelah melakukan kekerasan seksual terhadap 30 anak laki-laki.
Tak pelak, rentetan kejahatan predator anak berpotensi meningkatkan jumlah kasus Kekerasan Seksual Anak sepanjang tahun 2023, dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 9.588 kasus.
Hal ini pun menjadi perhatian banyak pihak. Saya pun menilai maraknya predator anak menjadi starting point penegakan hukum melalui vonis kebiri.
Belum ter-reduksinya kejahatan seksual, menjadi alasan kuat, starting point mengapa vonis kebiri harus dijatuhkan kepada pelaku kejahatan seksual. Pasal-pasal ataupun ketentuan yang membuat pelaku terjerat dari hukuman kebiri sebagaimana PP No. 70 Tahun 2020, seharusnya jangan dijadikan alat pertimbangan. Karena kejahatan seksual adalah kejahatan kemanusiaan.
Unsur kemanusiaan ini adalah segala bentuk dampak yang diterima korban, apalagi kaum perempuan dan anak. Dampak psikologis yaitu trauma berkepanjangan ataupun Post Traumatik Stres Disorder (PTSD), dampak kesehatan fisik korban, bahkan kerugian materi akibat panjangnya proses penyembuhan psikis dan fisik akibat kejahatan seksual.
Saya menekankan bahwa hukuman kebiri seharusnya masif dilakukan sebagai bentuk upaya pencegahan kejahatan seksual.
Hukuman kebiri, saya kira efektif untuk menekan pencegahan kejahatan serupa, karena sifatnya sebagai upaya abolisionistik, yaitu menekan kejahatan dari sumbernya. Sumber utama kejahatan seksual kan masalah interal pelaku, yaitu hasrat seksual atau libido yang bermasalah ditunjang dengan super ego-nya yang merasa berkuasa atas korban atau sasaran korban.
Jika tindakan kebiri dilakukan, yaitu secara kimiawi, maka otomatis menurunkan libido si pelaku. Dan karena ia merasa tidak sempurna, maka super egonya pun bisa turun. Yang semula merasa sok kuat sok kuasa, atau semacamnya, bisa berubah menjadi lemah.
Daripada seseorang merasa kuat tapi digunakan untuk kejahatan, ya mending dibuat lemah saja supaya sadar dan tidak hidupnya tidak menimbulkan masalah bagi orang lain, apalagi anak-anak.
Untuk itu, saya mengajak generasi dewasa untuk memikirkan hak anak. Kita yang dewasa memiliki kewajiban menjaga anak-anak, karena kelangsungan masa depan bangsa ini tak lepas dari investasi masa kecil yang bahagia.
Hak anak untuk bermain, tumbuh kembang secara baik, dan dilindungi, sebagaimana UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah kewajiban kita semua.
Penulis : Lia Istifhama Aktivis Perempuan dan Mantan Putri NU Surabaya 2005