JAKARTA, IndonesiaPos.co.id
Kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau dinilai tak cukup hanya menyeret tiga tersangka, yaitu korporasi (PT. SSS), direktur utama PT tersebut sebagai pelaku fungsional, dan manajer operasional sebagai pelaku pembakar lahan. Melainkan juga harus menyeret pemegang saham pengendali perusahaan itu jika memang ada bukti yang cukup.
Pengamat Hukum Pidana Korporasi, Ari Yusuf Amir mengatakan, kasus karhutla jarang menyentuh level pemegang saham, namun jajaran direksi seringkali menjadi pihak yang rentan ditetapkan sebagai tersangka. “Alasan utamanya karena kesulitan pembuktian keterlibatan pemegang saham,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (17/11/2019).
Perlu diketahui, pada Selasa 12 November lalu, Kejaksaan Tinggi Riau menyatakan berkas kasus yang diduga melibatkan ketiga tersangka itu telah lengkap atau P21. Sehingga tak lama lagi kasus karhutla yang sempat menjadi perhatian publik ini bakal segera dimejahijaukan atau disidangkan.
Terkait kasus itu, Ari menilai dari pihak kepolisian masih berpedoman pada Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Sementara untuk membuktikan ada atau tidaknya pengaruh pemegang saham, menurut Ari dapat dilakukan pembuktiannya melalui beberapa tahap.
Tahap pertama menurut dia yakni penyelidikan terkait direksi merupakan orang yang ditempatkan oleh pemegang saham pengendali. Tahap kedua, untuk membuktikan keterlibatan pemegang saham dalam kasus karhutla adalah dengan melihat dokumen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). “Bila dalam dokumen terdapat ketidaksesuaian, maka perlu dilihat penyebab ketidaksesuaian tersebut,” tandas Ari.
Lebih lanjut kata Ari, secara teoretis, pemegang saham tidak boleh mempengaruhi kebijakan direksi, kecuali melalui organ korporasi yaitu RUPS. Namun dalam kenyataannya sering pemegang saham pengendali, dengan kekuasaan yang dimilikinya, bertindak di luar kewenangannya untuk mengatur direksi dan komisaris (ultra vires). Bila pemegang saham melakukan tindakan ultra vires, maka pertanggungjawaban pemegang saham tidak lagi sebatas saham yang disetor, melainkan menurut rumusan pasal 55 KUHP menjadi pihak yang menyuruh melakukan atau membantu melakukan tindak pidana. Sedangkan tindakan tersebut, menurut Pasal 3 ayat (2) UU PT, pemegang saham telah kehilangan hak imunitasnya.
Dengan demikian, imbuhnya, limited liability dapat ditembus atau piercing the corporate veil, dan pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT. “Dengan dua tahap pembuktian dan doktrin ultra vires tersebut, semestinya aparat penegak hukum tidak ragu untuk menjerat pidana pemegang saham dari korporasi yang melakukan tindak pidana Karhutla,” tandas Ari.
Ari menguraikan, bila pemegang saham selalu berlindung di balik tameng korporasi maka kasus kejahatan koporasi termasuk kasus karhutla akan terus terjadi. Sedangkan penerapan sanksi pidana bagi pemegang saham akan membuat mereka lebih berhati-hati untuk berbuat jahat dan curang, dan dapat membuat korporasi berjalan lebih sehat. “Korporasi yang sehat akan berdampak positif bagi iklim investasi di Indonesia, dan menguntungkan negara untuk proses pembangunan ekonomi berkelanjutan,” pungkasnya. (rri*)