<

Aroma Kampanye Buzzer di Medsos Bikin Pusing

Editorial Oleh Gaudensius Suhardi

Aroma kampanye Pemilu 2024 kian kental terasa saat ini. Padahal, jadwal kampanye baru dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Aroma kampanye sangat terasa di media sosial.

Media sosial termasuk satu dari sembilan metode kampanye yang ditetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu. Metode lainnya ialah seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan debat pasangan calon.

Harus jujur diakui bahwa PKPU 15/2023 memiliki kelemahan terkait pengaturan media sosial. Pengaturan kampanye di media sosial sebatas mengatur pendaftaran akun milik peserta pemilu. Pasal 37 menyebutkan akun media sosial peserta pemilu dapat dibuat paling banyak 20 akun untuk setiap jenis aplikasi.

PKPU itu sama sekali tidak mengatur penyebaran konten kampanye yang dilakukan oleh orang di luar tim kampanye yang dikenal dengan sebutan buzzer alias pendengung. Para pendengung itu bekerja jauh-jauh hari sebelum kampanye resmi digelar.

Ada dua kategori buzzer yang menyesaki atmofser politik menjelang pemilu. Buzzer yang bekerja secara sukarela dan buzzer yang bekerja secara profesional demi meraup rupiah. Sejauh ini, buzzer profesional yang bikin bising karena mereka bekerja berdasarkan pesanan untuk memproduksi hoaks dan ujaran kebencian menjelang Pemilu 2024.

Penelitian Christiany Juditha (2019) menyebutkan buzzer merupakan salah satu ujung tombak kesuksesan seorang calon kepala daerah/negara dalam masa proses pemilihan berlangsung.

Ia menjelaskan buzzer tidak hanya melakukan fungsi marketing semata, tetapi juga bekerja untuk menjatuhkan serta menjelek-jelekkan pasangan-pasangan calon lainnya (termasuk menyerang dengan ujaran kebencian dalam berbagai bentuk).

Sebaliknya, mereka juga melakukan pembelaan terhadap salah satu pasangan calon yang didukung. Para buzzer itu melakukan teknik kampanye hitam yang bertujuan untuk membunuh karakter lawan politik dengan menggunakan fitnah, hoaks, dan gosip yang disebar secara masif.

Siaran pers Kominfo pada 20 September 2023 menyebutkan terdapat kenaikan isu hoaks pemilu pada 2023. Disebutkan bahwa pada awal 2023 hingga 19 September 2023 ditemukan 152 isu hoaks. Total isu hoaks sejak 2018 sampai 19 September 2023 sebanyak 1.471 isu hoaks. Fakta ini sungguh memprihatinkan.

Disebut memprihatinkan karena pemilu yang berkualitas dan bermartabat disabotase oleh para buzzer. Kiranya negara segera menghadirkan ruang digital yang sehat. Ruang digital yang sehat sangat urgent karena internet telah digunakan oleh 77% dari total populasi negeri ini atau sekitar 212,9 juta orang.

Sementara pengguna media sosial aktif, menurut data We Are Social 2023, sebanyak 167 juta atau 60,4% dari total populasi. Waktu rata-rata setiap hari dalam penggunaan internet mencapai 7 jam, 42 menit. Rata-rata setiap hari waktu menggunakan media sosial melalui perangkat apa pun sekitar 3 jam, 18 menit. Bisa dipastikan sebagian besar pemilih, untuk tidak mengatakan semuanya, terhubung dengan internet dan media sosial.

Data KPU menyebutkan jumlah Pemilu 2024 mencapau 204 juta pemilih atau naik sekitar 12 juta jika dibandingkan dengan pemilih di Pemilu 2019.

Bila dilihat dari segi demografi usia, pemilih muda cukup mendominasi dengan jumlah 52%. Pemilih berusia di bawah 17 tahun sebanyak 0,003%, pemilih berusia 17-30 tahun 31,23%, pemilih berusia 31-40 tahun sebanyak 20,70%, serta pemilih di atas 40 tahun sebanyak 48,07%.

Patut diwaspadai jangan sampai pemilih muda menjadi sasaran kampanye hitam di media sosial. Apalagi, indeks literasi digital pada 2022 masih dalam kategori sedang. Indeks Literasi Digital Nasional pada 2022 mencapai 3,54 poin (dalam skala 5) atau meningkat 0,05 poin jika dibandingkan setahun sebelumnya.

Peringatan yang disampaikan Presiden Joko Widodo perlu mendapatkan perhatian. Presiden imbau masyarakat jangan terima berita mentah-mentah dan harus selalu melakukan pengecekan ulang.

Para alisis menyebutkan hoaks akan dianggap sebagai kebenaran dalam dua jam karena dalam rentang waktu itu belum ada lembaga yang mengklarifikasi informasi tersebut. Pabrik hoaks yang mempekerjakan buzzer bikin bising menjelang pemilu.

Penelitian Christiany Juditha menemukan fakta bahwa saat ini profesi sebagai buzzer di media sosial dianggap cukup menjanjikan karena memiliki penghasilan yang cukup tinggi.

Riset yang diterbitkan University of Oxford (2019) mengungkapkan bahwa para buzzer di Indonesia biasanya dibayar dengan bayaran yang bervariasi, mulai dari Rp1 juta hingga mencapai Rp50 juta.

 

BERITA TERKINI