JAKARTA, IndonesiaPos
Pemimpin sipil Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi membela Myanmar atas tuduhan genosida terhadap muslim Rohingya di Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda pada Rabu (11/12).
Ia membantah ‘niat genosida’ dalam tindakan keras Myanmar terhadap muslim Rohingya. Meskipun demikian, ikon HAM tersebut mengakui bahwa militer Myanmar mungkin telah menggunakan kekuatan yang berlebihan.
Suu Kyi membantah tuduhan Gambia bahwa operasi tentara Myanmar 2017 lalu merupakan upaya untuk memusnahkan etnis Rohingya, dengan mengatakan gugatan Gambia terhadap Myanmar ke pengadilan tinggi PBB itu menyesatkan dan tidak lengkap.
“Sayangnya, Gambia telah menempatkan di hadapan pengadilan sebuah gambaran yang menyesatkan dan tidak lengkap tentang situasi di negara bagian Rakhine,” ujar Suu Kyi, yang mengenakan pakaian tradisional Myanmar, Rabu (11/12).
Berbicara di hadapan para hakim di ruang sidang, wanita berusia 74 tahun itu mengatakan Myanmar sedang berurusan dengan konflik bersenjata internal di negara bagian barat daya, lokasi kekejian terhadap muslim Rohingya diduga dilancarkan.
“Mohon ingat kembali situasi yang kompleks ini dan tantangan terhadap kedaulatan dan keamanan di negara kami, ketika Anda menilai maksud mereka (militer Myanmar) yang berusaha menangani pemberontakan,” tutur Suu Kyi.
“Tentunya dalam situasi itu, niat genosidal tidak bisa menjadi satu-satunya hipotesis,” tukasnya.
Setelah duduk selama berjam-jam memperdengarkan rincian dugaan tindakan genosida yang dibacakan oleh pengacara Gambia sehari sebelumnya, Suu Kyi mengakui adanya kemungkinan korban sipil yang beberapa di antaranya tewas ketika sebuah helikopter melepaskan tembakan.
Namun, ia berpendapat jatuhnya warga sipil tersebut adalah bagian yang tak terhindarkan dari konflik.
“Tidak dapat dikesampingkan bahwa kekuatan yang tidak proporsional digunakan oleh anggota pasukan pertahanan dalam beberapa kasus dengan mengabaikan hukum humaniter internasional, atau bahwa mereka tidak dapat membedakan dengan jelas antara pemberontak dan warga sipil,” katanya.
Suu Kyi menambahkan bahwa Myanmar tengah melakukan penyelidikannya sendiri, dan jika kejahatan perang terbukti telah dilakukan, maka sistem peradilannya akan menanganinya.
Selain itu, Suu Kyi juga mengatakan bahwa pengadilan tinggi PBB pun belum mengkonfirmasi genosida dalam kasus pengusiran massal warga sipil dalam perang Balkan tahun 1990-an.
Adapun pengacara untuk Myanmar juga memusatkan perhatian pada kurangnya bukti “niat genosida”, yang terkenal sulit dibuktikan di dalam hukum internasional.
Pengacara Myanmar William Schabas menolak misi pencarian fakta PBB yang dikutip oleh Gambia, dengan menyebutnya sebagai cacat dan berpendapat bahwa pengadilan harus mengabaikannya.
Sebelumnya, Mahkamah Internasional hanya pernah satu kali memutuskan kasus genosida yakni dalam pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia.
Sementara itu, sekitar 250 demonstran pendukung Myanmar berkumpul di depan Mahkamah Internasional saat sidang digelar pada Rabu (11/12). Mereka membawa plakat dengan gambar wajah Aung San Suu Kyi yang bertuliskan “Kami mendukung Anda”.
Keputusan Suu Kyi untuk secara pribadi memimpin kasus negaranya di pengadilan tinggi PBB juga menuai pujian di Myanmar, karena Rohingya secara luas dipandang sebagai imigran ilegal.
“Tuduhan terhadap Myanmar dan Suu Kyi ini adalah sampah,” ujar seorang warga Burma yang tinggal di Belanda, Chomar Oosterhof.
Tak mau kalah, sekelompok kecil lainnya pendukung Rohingya juga datang ke Mahkamah Internasional dan berteriak: “Aung San Suu Kyi, sungguh memalukan!”.
Aung San Suu Kyi yang memenangkan Nobel Perdamaian pada 1991 lalu karena perlawanannya terhadap junta militer Myanmar yang membuatnya ditahan selama 15 tahun hingga 2010, justru di pengadilan tinggi PBB saat ini membela militer yang pernah memenjarakannya.
Namun pembelaannya Suu Kyi atas militer Myanmar tersebut telah menuai kecaman internasional. Selain di Mahkamah Internasional, Myanmar juga menghadapi sejumlah tantangan hukum atas kasus Rohingya, termasuk penyelidikan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan gugatan di pengadilan Argentina.
Militer Myanmar dituduh melakukan kampanye pembunuhan massal, pemerkosaan dan penyiksaan terhadap muslim Rohingya, yang memaksa sekitar 740 ribu Rohingya melarikan diri ke negara tetangganya Bangladesh. Militer Myanmar menyebut melancarkan serangan besar-besaran sebagai tanggapan atas serangan oleh gerilyawan setempat.
Upaya untuk membawa kasus Rohingya ke Pengadilan Internasional tersebut dilakukan negara di Afrika barat, Gambia. Negara mayoritas Islam tersebut menuduh Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida 1948. Gambia meminta pengadilan untuk menetapkan langkah-langkah darurat guna menghentikan tindakan genosida yang sedang berlangsung Myanmar. (AFP/OL-7/MI)