MADIUN, IndonesiaPos
Tiga belas tahun sudah dijalani sebagai pedagang tahu, makanan jenis lauk, yang populer di lidah masyarakat Indonesia. Hingga akhirnya tercapai obsesinya, menjadi bos home industry pengolahan tahu di wilayah Madiun, Jawa Timur.
Dialah Rudi Santoso, 38 tahun, warga Desa Sidorejo, Kecamatan Wungu, yang semenjak Tahun 2010 mendirikan usaha home industry pengolahan tahu ber merk UD. Tahu Taqwa.
Berkah yang dia terima tersebut tidak lantas membuat alumni SMP Negeri 4 Madiun Tahun 1997 itu berpangku tangan, puas, melainkan justru menggiringnya lebih gigih menekuni bidang usaha barunya itu.
Awalnya, setamat SMP, ayah dua anak, Shinta dan Arjuna, buah cintanya dengan Sri Martini, itu langsung berinisiatif berjualan tahu eceran.
“Saya berjualan di pasar Dolopo Madiun. Setiap hari berangkat selepas sholat Subuh, hingga sore hari baru pulang,” aku Rudi Santoso, mengawali kisahnya.
Sepanjang waktu selama tiga belas tahun menjalani pencaharian sebagai pedagang tahu eceran di pasar, tidak membuat statistik perekonomiannya meningkat.
Saban fajar belum menyingsing, dia membeli tahu di home industry wilayah Madiun, kemudian langsung meluncur ke pasar tradisional di Dolopo, untuk beradu rejeki dengan para penjaja lain di tempat itu.
Bagi Rudi Santoso, rutinitas itu terasa melelahkan. Lantaran hasilnya selalu stagnan. Itu itu juga. Dapat uang, habis lagi untuk makan.
“Hingga akhirnya sekitar Tahun 2010 Saya memberanikan diri untuk membuka sendiri usaha pengolahan tahu. Untuk saya pasarkan,” lanjutnya.
Dari awalnya dia hanya mampu membeli 100 kilogram kedelai, sebagai bahan baku pembuatan tahu, hingga saat ini dalam sehari perusahaannya sanggup menghabiskan 5 kwintal kedelai per hari.
Fluktuasi neraca berwira usaha tetap ada. Termasuk yang dialami Rudi Santoso. Pernah dia mengalami masa tertinggi, yakni dalam sehari menghabiskan bahan baku kedalai hingga mencapai sebanyak 8 kwintal per hari.
“Pencapaian tertinggi, 8 kwintal per hari, itu terjadi pada Tahun 2017. Namun, karena harga kedelai setelah itu meninggi. Ditambah kasus Covid-19, pasar sepi, akhirnya menurun kembali produksi saya,” ujarnya.
Berwira usaha pengolahan tahu, menurutnya, sangat tergantung harga bahan baku, kedelai. Saat ini, katanya, harga kedelai kualitas A sebesar antara Rp. 90.000 sampai Rp. 92.000.
“Harga tersebut tergolong tinggi dan menyulitkan pengusaha seperti saya. Biasanya di bawah itu harganya,” aku Rudi Santoso.
Terkait pemasaran hasil produksinya, Rudi Santoso mengaku tidak menjadikan masalah. Pasalnya, setiap hari sudah banyak pedagang di areal Madiun dan Ponorogo yang mengambil.
Meski demikian, dia mengaku belum berani melakukan ekspansi pemasaran ke kota lain seperti Magetan, Ngawi dan Pacitan.
Lantaran, katanya, situasi menyangkut fluktuasi harga bahan baku maupun yang terkait Covid-19, untuk ke arah sana belum memungkinkan. “Jika tidak hati hati bisa bangkrut, Mas,” jelasnya.
Terlepas dari pasang surutnya berwira usaha, Rudi Santoso mengaku bersyukur atas jalan usaha yang dia tempuh saat ini.
Itu karena, sekurang kurangnya, Rudi Santoso disaat perekonomian payah ini, mampu memberi pekerjaan kepada 15 orang karyawannya.
Rudi Santoso memberi saleri karyawannya sebesar Rp. 1.800 per bulan. Selain upah, perusahaannya juga masih memberi makan karyawannya, sekali per hari.
Terakhir, dalam kondisi serba belum pasti seperti ini, Rudi Santoso mengaku belum berani mengembangkan usahanya lebih jauh dan besar.
“Insayaallah, jika semuanya sudah kembali normal, usaha akan kami kembangkan,” tutupnya. (fin)