<

Bencana Tidak Kenal Toleransi

Pandemi covid-19 seperti belum rela melepaskan derita manusia dari cengkeramannya. Selain ketakutan dan kepanikan manusia yang tak kunjung mereda, wabahnya semakin menggila, dilihat dari jumlah kasus covid-19 yang terpapar karenanya. Tidak hanya menimpa Indonesia. 

Virus korona membagi wabahnya, merata ke seluruh dunia. Tanpa pandang bulu, dan tak memberikan rasa toleransi kepada siapa saja. Jika berbicara akselerasi covid-19 di Indonesia, kurvanya terus menanjak dari waktu ke waktu. Pada awal Maret 2020 baru tercatat 2 kasus.

Sebulan berikutnya meningkat menjadi 1.790 orang, dengan korban meninggal 170, dan yang sembuh 112 orang. Pada minggu ketiga April (per 19 April) meningkat lagi hampir tiga kali lipatnya. Kasus positif mencapai 6.575, korban yang meninggal 582 korban meninggal dan 686 sembuh. Untuk apa membandingkan? 

Pertama, untuk membandingkan pasien yang sembuh dan meninggal. Yang bisa digunakan untuk mengukur prestasi penyembuhan petugas yang menangani pasien.

Kedua, untuk membandingkan tingkat risiko tenaga medis yang juga menjadi korban karena posisi mereka yang ada di garda depan. 

Ketiga, untuk membandingkan pasien yang sembuh dengan tambahan pasien baru yang terkena virus korona.

Keempat, membandingkan kapan titik kulminasinya dan seberapa lama wabah akan berakhir.

Kelima, untuk membandingkan sejauh mana tingkat efektifitas PSBB dalam meredam penyebaran covid-19.

Pertanyaan di atas ialah indikator untuk memitigasi dampak risiko terhadap baik kehidupan manusia maupun kehidupan negara karena ancaman krisis ekonominya. Terkait dengan pertanyaan terakhir, semakin lama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diperpanjang, semakin lama masyarakat akan terpenjara di dalam rumah sendiri. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak memilikinya? Yang jelas semakin terpuruk. Kesulitan hidup akan mengimpit mereka.

Belum lagi selesai masalah covid-19, bencana lainnya dikhawatirkan ikut menghadang. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pernah mewanti-wanti, musim kemarau 2020 akan lebih kering ketimbang tahun lalu.

Musim kering tahun ini diprediksi akan dimulai pada April dan memasuki puncaknya pada Agustus 2020. Ini akan mengganggu produksi pangan, terutama beras. Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin, produksi beras pada musim kering hanya mencapai 35% jika dibandingkan dengan hasil panen pada musim basah.

Belum lagi ancaman musim kebakaran hutan yang biasanya berlangsung April hingga Oktober. Hal ini sejalan pengakuan informasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kebanyakan potensi bencana di Indonesia pada 2020 ialah bencana hidrometeorologi, yang meliputi banjir, kebakaran hutan, longsor, dan kekeringan. Prihatin memang.  Bencana seperti tak mengenal toleransi.

Masih adakah bencana lainnya?

Ada. Bencana kelaparan. Ketidakpastian sampai kapan covid-19 akan berakhir, dan ancaman bencana hidrometeorolgi, dipastikan akan berdampak lanjutan pada persediaan bahan makanan. Persediaan mungkin ada, tapi bagaimana membelinya atau memperolehnya. Bagi yang punya uang dan fasilitas, tak menjadi masalah.

Tinggal pesan online, pesanan sudah ada yang mengantarkan. Bagaimana dengan mereka yang  kekurangan, atau yang memiliki ‘keterbatasan’, dan tidak memiliki fasilitas? Misalkan, penyandang disabilitas nonpanti atau mereka yang baru saja terdampak PHK seperti buruh harian lepas, yang sedang meringkuk sakit dan tidak bisa membiayai kehidupan istri dan dua orang anak mereka.

Sebulan lagi, yang paling ditakuti mereka mungkin bukan lagi wabah korona, melainkan kelaparan, musibah yang kini menghantui. Bencana lainnya akibat kelaparan ialah potensi konfik sosial dan indikasi meningkatnya angka kejahatan.

Dengan berbagai bencana tersebut, apa yang akan kita lakukan? Apakah menyerah? Brian Dyson mengatakan, “Janganlah pernah menye rah ketika Anda masih mampu berusaha lagi. Tidak ada kata berakhir sampai Anda berhenti mencoba.”

Kita sependapat dan memang harus realistis jika bencana selama ini membuat kita panik, takut, dan bi ngung. Namun, kita jangan takut membicara kan baik kegagalan, kelemahan, maupun blind spot kita karena ini akan menjadi cambuk untuk belajar dan meningkatkan kapasitas diri.

Kita harus sadar dan bangkit. Agar keterpurukan tidak menghalangi capaian target kesuksesan, kita harus bisa memotivasi diri  dan mengatur mindset untuk bangkit dan tidak menyerah. Kita sadar bahwa hidup itu memang sulit. Namun, daripada mengeluhkan masalah, lebih baik mencari jalan keluar unuk memecahkannya.

Inilah perbedaannya antara siapa yang berhasil mencoba dan siapa yang gagal menghadapi kesulitan hidup. Yang gagal berusaha memilih menghindari masalah. Yang berhasil dan ingin sukses menerima masalah tersebut dan berkarya melalui itu sekalipun melalui penderitaan. Ia akan mencari solusi yang membuat hidupnya lebih bermakna.

Covid-19 telah membawa perubahan hidup manusia. Perubahan itu menyakitkan, ia menyebabkan orang merasa tidak aman, bingung, dan marah. Orang menginginkan hal seperti sedia kala karena mereka ingin hidup yang mudah. Demikian ungkap Richard Marcinko.

Manusia kini merasa tidak aman, bingung, dan khawatir karena tidak mendapatkan solusi yang memuaskan tentang dampak covid-19 yang sedang menimpanya. Ketakutan yang berlebihan terhadap sulitnya kehidupan dan masa depannya justru akan melunturkan semangat juang dan derajat kemanusiaannya sebagai mahluk yang paling sempurna. 

Saat ini, siapa pun harus mampu melatih diri untuk bersabar karena segala sesuatu di dunia ini memerlukan proses, termasuk menangani pandemi global ini. Hidup tidak semudah membalikkan telapak tangan karena manusia memiliki keterbatasan dan ketidaksempurnaannya.

Meskipun manusia sebenarnya dititipi sang Pencipta segudang talenta dan keajaiban yang pada dirinya, talenta itu harusnya bisa digunakan untuk terus berjuang agar tidak terus tenggelam dalam keterpurukan. Talenta ini memberikan pilihan pada manusia. 

Ia berusaha sekuat tenaga keluar dari krisis dan menjadi mulia, atau hanya pasrah untuk terus menjadi pendosa. Covid-19 dan ancaman bencana alam lainnya seakan tak berjeda. Tak membiarkan manusia lepas dari kubangan kesedih annya. Ella Wheeler Wilcox, penyair dan wartawan dari Amerika Serikat, mengatakan hidup ini warna-warni, tidak mungkin hanya hitam putih. Jangan berharap selalu bahagia, jangan juga berpikir kesedihan akan selamanya.

Tuhan tidak pernah membiarkan hamba-Nya terlarut dalam kesedihan, pasti ada rencana indah untuk membayar semua air mata. Kita setuju bahwa Tuhan Mahaadil dan tidak akan memberikan beban cobaan melebihi kemampuan manusia.

Di dalam diri manusia sebenarnya sudah tertanam kompas agar selalu membimbing manusia dalam setiap persimpangan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan salah, yang bahagia dan berduka.

Kompas itu ialah mata hati kita. Yang akan membantu manusia menemukan ujungnya cahaya, yaitu kehidupannya yang sebenarnya. Untuk keluar dari krisis, diperlukan ketajaman mata hati manusia yang akan membawanya ke tujuan yang lebih tinggi. Yang akan menunjukkan kualitas dirinya. Mata hati ini juga menunjukkan bagaimana mencegah bahaya kelaparan, yaitu dengan peduli dan berbagi. Peduli dan berbagi melalui sedekah untuk mereka yang kini sedang menahan rasa lapar di perut atau bentuk lainnya yang dapat meringankan kesulitan mereka.

Pandemi covid-19 dan ancaman bencana lainnya menjadi cobaan yang kini menguji setiap manusia tanpa memandang siapa kita. Bencana tidak memberikan toleransi. Ia tidak hanya memperburuk kondisi psikologis masyarakat, tetapi juga keadaan fi ansial karena beberapa aktivitas ekonomi lesu tak bergerak akibat adanya social distancing.

Ia juga membawa ancaman yang tak kalah menakutkan, yaitu ancaman kelaparan dan meningkatnya kejahatan. Bangsa Indonesia butuh bangkit agar nantinya menjadi negara yang besar. Dibutuhkan keyakinan, toleransi, dan dukungan dari semua warga negara yang merasa bagian dari bangsa Indonesia.

Untuk itu, partisipasi aktif dan semangat bersama melawan korona serta semangat peduli dan berbagi ialah keharusan bagi siapa saja yang ingin meringankan beban negara. Bukan sekadar memberi suara dan mengkritik, melainkan dengan melakukan tindakan nyata, yang lebih bermakna.

Kita perlu melakukan banyak evaluasi terhadap hal-hal yang sebelumnya kita lakukan agar dapat memperbaiki diri kita menjadi lebih baik sekaligus menciptakan solusi untuk membantu masyarakat. Seperti penyataan Harry Slyman, apa yang kita dapatkan sekarang ialah buah pilihan yang kita buat di masa lalu. Apa yang kita pilih hari ini ialah apa yang akan kita dapat di masa depan.

Ditulis Oleh : Dwi Mukti Wibowo Deputi Direktur Departemen Komunikasi, Bank Indonesia

Foto : BBC News Indonesia 

BERITA TERKINI