JAKARTA, IndonesiaPos
Baru-baru ini Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman membuat heboh masyarakat dunia akibat pernyataannya yang menyinggung persoalan dugaan pelanggaran HAM di Papua pada Sidang Majelis Umum PBB pekan lalu.
Bahkan, setiap tahun Vanuatu selalu menjadi negara yang mengangkat isu tentang Papua. Salah satu alasan yang dipakai yakni mengenai perjuangan sesama ras Melanesia dipakai Vanuatu untuk menyinggung dugaan pelanggaran HAM tersebut.
Lalu, sebenarnya seperti apa negara Vanuatu itu sendiri? Berikut ulasan mengenai negara yang selalu ikut campur terhadap perkembangan Papua.
Vanuatu merupakan negara yang terletak di tengah Samudera Pasifik. Negara tersebut terdiri dari 80 pulau lebih dan baru merdeka pada 1980. Namun, siapa yang menyangka jika negara Vanuatu pernah dijajah secara bergiliran oleh Inggris dan Prancis. Mengutip dari BBC, mayoritas pulau di Vanuatu tidak berpenghuni dan terdapat rangkaian gunung berapi. Luas daratan di Vanuatu hanya 12.189 kilometer persegi, atau lebih kecil sedikit dari Provinsi Sulawesi Barat yang memiliki luas 16.937 kilometer persegi.
Karena daratan yang terbatas dan dipenuhi gunung berapi, Vanuatu rawan bencana. Tetapi jangan salah, justru merekalah langganan ombak besar, gempa, gunung meletus, dan badai. Salah satu yang terparah adalah badai Pam yang memporak-porandakan Vanuatu pada 2015 lalu.
Selain itu, data sensus terakhir pada 2018, Vanuatu memiliki penduduk 292.680 orang. BBC menulis, warga Vanuatu sangat memegang teguh tradisi lokal yang sangat kuat, namun, tradisi tersebut dikritik karena dianggap mendiskreditkan wanita.
Hal tersebut dikarenakan warga Vanuatu menganggap wanita berada di kelas bawah. Perempuan juga tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan yang setara dengan laki-laki. Akhirnya hingga saat ini, mayoritas eksekutif dan legislatif di Vanuatu diduduki oleh pria bukan wanita.
Sementara itu, Pengamat Internasional yang juga Direktur Eksekutif, The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) Arya Sandhiyudha, Ph.D berpendapat suara Vanuatu yang kerap mengungkit masalah hak asasi manusia (HAM) di Papua dalam Sidang Umum PBB tidak terlalu berpengaruh.
“Ini sangat tidak pengaruh karena kita sebenarnya banyak forum misalnya ada forum Dewan HAM PBB disitu Vanuatu tidak bersuara, ada evaluasi HAM seluruh negara di dunia seharusnya Vanuatu memang berani adu data itu menyampaikan di situ,” kata Arya kepada, dikutif rri.co.id, Selasa (29/9/2020).
“Di Dewan HAM PBB setiap negara dievaluasi berdasarkan track record asalkan dia membawa data tapi di di tempat-tempat dia tidak membawa data justru dia enggak main. Dia main di panggung-panggung sepertinya untuk populis aja gitu,” tambahnya.
Menurutnya, realita yang ada di Papua adalah kondisinya sekarang sudah sangat berbeda dibandingkan banyak negara lain dalam perlakuan terhadap rasnya. Karena Indonesia sudah terbiasa dengan keragaman ras. “Kita bisa lihat tidak ada di dunia ini yang punya aturan khusus memberikan hak bagi Indigenous peoples bagi satu provinsi tertentu yang sangat besar untuk mengisi posisi-posisi yang sangat strategis,” terangnya.
Di Papua itu, kata dia, provinsinya sudah menjadi dua dan ini berarti wilayah teritorialnya sudah dikembangkan secara demokratis. “Kedua provinsi gubernurnya juga dipimpin oleh orang Papua asli, Pangdamnya Papua asli, Kapoldanya Papua asli, jadi memang kontrol penuh, ini suatu keistimewaan,” paparnya.
Lebih lanjut, Arya mengapresiasi, kerja diplomat muda Indonesia, Silvany Austin Pasaribu yang menyampaikan hak jawab terhadap Vanuatu yang mengungkit masalah hak asasi manusia (HAM) di Papua dalam Sidang Umum PBB yang digelar Sabtu (26/9/2020).
“Sikap diplomat kita itu sudah sangat tegas ya dan memang itu proposional mengingat memang Vanuatu ini sudah cukup lama dan dia sepertinya juga dia di pasifik sendirian makanya keluar dua diksi yang sangat tegas yang pertama yang saya perhatikan ada shamefull,” ungkapnya.
Sebelumnya, diplomat muda Indonesia, Silvany Austin Pasaribu, menyampaikan hak jawab terkait persoalan tersebut. “Sangat memalukan bahwa satu negara ini terus-menerus memiliki obsesi yang berlebihan dan tidak sehat tentang bagaimana seharusnya Indonesia bertindak atau menjalankan pemerintahannya sendiri,” ujar Silvany pada awal pidatonya, yang dilansir dari YouTube PBB pada Sabtu (26/9/2020).
“Terus terang saya bingung bagaimana bisa suatu negara mencoba untuk mengajar negara lain, sementara kehilangan inti dari seluruh prinsip dasar Piagam PBB,” kata dia.