EDITORIAL OLEH : KURNIADI
TIDAK DISANGKA bahwa pelaporan Paslon 02 terhadap Paslon 01 terkait dugaan money politic dan mobilisasi ASN & Kepala Desa, yang diduga dilakukan oleh Paslon 01 dalam Pilkada Sumenep 9 Desember yang lalu, akan begini dinamikanya. Framingnya sama sekali tidak edukatif.
Betapa tidak, pelaporan Paslon 02 telah dipersepsi sebagai cermin dari pribadi yang tidak berjiwa besar. Tidak mau menerima kekalahan alias tidak legowo. Upaya tersebut tidak lagi dimaknai sebagai suatu ikhtiar yang sudah sepatutnya dimiliki oleh setiap orang yang sedang memperjuangkan hak, apalagi bagi calon pemimpin besar sekelas Kepala Daerah. Mudah menyerah bukanlah tipe pemimpin ideal.
Yang ekstrem, upaya hukum tersebut dianggap hanya sebagai lelucon dan sebuah mimpi. Lebih tragis lagi, penggunaan diksi dan narasi-narasi tersebut dipakai oleh kalangan praktisi hukum dan bahkan intelektual-akademik. Antara lain Syafi’., SH., MH., selaku Ahli Hukum Tata Negara dari Univ. Trunojoyo Madura (Unijoyo), Ach. Supyadi dan Rausi Samorano., SH., selaku Praktisi Hukum.
Tragis, karena narasi-narasi yang digunakan praktisi tersebut lebih tepat dipakai ketika sedang menjalankan tugas-tugas pembelaan. Atau digunakan dalam kerangka kritik terhadap kebijakan struktur. Saat ini, para Paslon statusnya masih warga negara. Jadi tidak patut dibully dengan stigma-stigma yang tidak patut.
Demikian pula dengan ahli. Sebagai Ahli, atau akademisi, sepatutnya pendapat-pendapatnya diarahkan dan disematkan kepada segi-segi universal yang mengitari perselisihan ini. Bukan ditujukan untuk menilai dan mempreteli bukti-bukti pihak pelapor, apalagi hingga menyebut upaya pelapor sebagai mimpi. Tidak patut. Yach, tidak patut dinyatakan oleh seorang akademisi karena lebih tepat dinyatakan oleh seorang Pembela. Baik Timses, maupun Pengacaranya.
Komentar dan pendapat ahli yang demikian, tentu akan dipandang tidak edukatif karena akan menimbulkan persepsi bahwa Sang Ahli sengaja dibayar, yaitu dengan suatu tujuan khusus, yaitu untuk mengkerdilkan dan melemahkan pelapor. Perilaku ahli potensial bisa menimbulkan citra yang tidak baik bagi almamaternya.
Segi-segi penting yang dibutuhkan dari pendapat ahli dalam dinamika ini adalah apakah pelanggaran Paslon yang dipersangkakan bisa berkonsekwensi ke diskualifikasi. Ahli pun dapat menjelaskan lebih rinci mengenai jenis-jenis pelanggaran apa saja yang bisa berkonsekwensi diskualifikasi.
Jadi, pendapat ahli yang menyasar hingga menilai kualitas bukti milik Pelapor, padahal belum mengetahui dengan jelas bukti-bukti lain, dan ahli lalu berkesimpulan bahwa pelapor hanya mimpi, bukanlah sikap yang tepat bagi seorang ahli. Sedangkan penggunaan kata “mimpi”, hanya tepat disampaikan oleh prinsipal atau Tim Suksesnya karena pada kata tersebut terkandung maksud mengejek.
Dengan demikian, khusus mengenai Pendapat ahli yang menyatakan upaya hukum paslon 02 sebagai mimpi, merupakan pendapat yang masih terlalu prematur untuk dijadikan rujukan. Pendapat ahli, patut dikesampingkan.
Kendati demikian, sungguhpun Ahli dibeli, misalnya, tetap patut diakui bahwa inilah justru kelebihan Paslon 01. Bisa menjangkau bahkan hingga ke wilayah terlarang. Tetapi sekaligus dapat menjadi bukti yang potensi melemahkan Paslon 01 itu sendiri karena dapat menimbulkan keyakinan bahwa Paslon 01 memang potensial melakukan apa-apa yang dipersangkakan Pelapor yaitu menghalalkan segala macam cara, termasuk akan tetapi tidak terbatas melakukan money politic dan memobilisasi ASN dan jaringan Kepala Desa.
Kenapa demikian, karena Paslon 01 (Terlapor) telah menggunakan Ahli tidak pada tempatnya, dimana untuk keperluan melakukan propaganda dan pembenaran-pembenaran atas posisinya, Paslon 01 (Terlapor) seharusnya memerankan Tim Suksesnya, atau setidaknya dengan menggunakan tenaga Advokat atau praktisi untuk kepentingan tersebut.
Sedangkan keberadaan ahli, diletakkan dibalik layar yang secara khusus untuk membantu mencari pembenar dalam penyusunan basis argumentasi. Urusan berstatemen, menjadi bagian Timses.
Selain itu, bantahan Paslon 01 selaku Terlapor, pada kenyataannya juga hanya berkutat pada segi-segi formal. Belum masuk pada segi substansi, yaitu mengenai bagaimana membangun kepercayaan bahwa dugaan Paslon 02 atas Paslon 01 tidak benar.
Kendati demikian, bagaimanapun patut diakui bahwa cara ini, dari segi teknis beracara, Paslon 01 kembali unggul dari Paslon 02. Unggul, karena dengan cara ini, tidak membuka aspek-aspek substantif, akan menghalangi Pelapor untuk mengetahui kelemahan-kelemahan Terlapor.
Berbeda dengan Pelapor yang telah terlebih dulu mengurai bukti-bukti secara rinci dalam serangan-serangan pengantar, tanpa terlebih dulu mengolah dan menganalisa relevansi antara bukti satu dengan lainnya, telah menyebabkan terbukanya peluang bagi Terlapor untuk melihat kelemahan-kelemahan Pelapor. Seperti yang telah terjadi sekarang ini.
Tapi bagaimanapun Pelapor memiliki bukti dan kemauan yang kuat untuk terus berikhtiar, maka sebelum dilakukan proses pengujian terhadap alat bukti melalui proses pembuktian yang sah, maka keinginan pelapor untuk bisa mendiskualifikasi terlapor masih mungkin terjadi. Bukan mimpi.
Apalagi, misalnya, kalau Terlapor sedang terjebak dalam euforia kemenangan yang berlebihan, memandang rendah dan meremehkan upaya lawan yang sedang berikhtiar, maka peluang menang bagi Paslon 02 menjadi semakin lebar. Apa yang bisa dilakukan oleh Paslon yang lengah?
Yang terpenting dicatat, yang kalah belum tentu yang terburuk. Yang menang juga belum tentu yang terbaik. Yang menang bisa jadi karena lahir dijaman yang tepat. Sedangkan yang kalah, bisa jadi karena hidup dijaman yang tidak tepat.
Salam Damai diantara kompor-kompor.
Ditulis oleh : Amin/Heny