SAMARINDA – IndonesiaPos
Instruksi Presiden Prabowo Subianto yang melarang penerbitan dan perpanjangan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), serta Izin Usaha Pertambangan (IUP) sepanjang tahun berjalan, kini diuji di Kalimantan Timur. Larangan tegas tersebut disampaikan Presiden dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin 15 Desember 2025 dan berlaku mutlak hingga ke tingkat daerah.
“Tidak ada satu pun izin yang dikeluarkan atau diperpanjang. Tidak ada HPH, HTI, dan tidak ada satu pun IUP,” tegas Presiden Prabowo di hadapan seluruh jajaran kabinet.
Namun fakta lapangan justru mengindikasikan situasi yang bertolak belakang. Berdasarkan penelusuran serta laporan masyarakat, aktivitas pertambangan batu bara diduga masih berlangsung secara aktif di hampir seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Timur, termasuk di Kota Samarinda.
Ironisnya, Samarinda selama ini diklaim sebagai kota yang telah “bebas tambang”. Pernyataan tersebut bahkan disampaikan secara terbuka oleh Wali Kota Samarinda dalam berbagai forum.
Akan tetapi, realitas di lapangan menunjukkan dugaan sebaliknya. Aktivitas penggalian, hauling batu bara, hingga lalu lintas truk angkutan tambang masih ditemukan dan terdokumentasi oleh warga.
Fakta ini menimbulkan kecurigaan serius: apakah klaim “bebas tambang” hanyalah slogan administratif, sementara praktik pertambangan tetap dibiarkan berjalan?
Lebih jauh, publik mulai mempertanyakan peran dan sikap Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur serta Pemerintah Kota Samarinda. Hingga kini, tidak terlihat langkah penertiban masif, penghentian operasi, maupun penegakan hukum yang tegas terhadap aktivitas tambang yang diduga melanggar Instruksi Presiden.
Dalam perspektif hukum tata negara, kepala daerah bukanlah entitas otonom yang berdiri di luar garis komando nasional. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara eksplisit mewajibkan kepala daerah melaksanakan kebijakan strategis nasional.
Mengabaikan instruksi Presiden bukan sekadar pelanggaran etika pemerintahan, melainkan berpotensi menjadi pembangkangan administratif terhadap negara.
Apabila aktivitas pertambangan tersebut terbukti beroperasi tanpa izin sah atau menggunakan izin lama yang seharusnya dibekukan, maka terdapat potensi pelanggaran serius terhadap:
UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta membuka ruang dugaan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
Lebih mengkhawatirkan lagi, pembiaran ini berpotensi mengindikasikan adanya relasi kepentingan antara kekuasaan daerah dan korporasi tambang.
Jika negara kalah di tingkat daerah, maka instruksi Presiden hanya akan menjadi dokumen formal tanpa kekuatan nyata.
Menanggapi kondisi tersebut, Suryadi Nata, Ketua Badan Penelitian Aset Negara Lembaga Aliansi Indonesia Komando Garuda Sakti Wilayah Provinsi Kalimantan Timur, secara tegas menyebut adanya indikasi pembangkangan oleh dua kepala daerah di Kaltim.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi. Jika instruksi Presiden diabaikan secara terbuka, maka patut dipertanyakan wawasan kebangsaan dan komitmen mereka terhadap NKRI,”kata Suryadi Nata.
Ia menilai sikap tersebut berbahaya bagi kewibawaan negara.
“Pemimpin seharusnya memberi teladan. Jika justru melanggar instruksi Presiden, maka ini contoh buruk bagi rakyat Kalimantan Timur dan preseden serius bagi sistem pemerintahan,” tegasnya.
Presiden Prabowo sebelumnya telah menunjukkan ketegasan dengan menarik kembali sekitar 4 juta hektare lahan sawit ke tangan negara sebagai simbol penegakan kedaulatan hukum.
Publik kini menanti: apakah ketegasan yang sama akan diterapkan terhadap kepala daerah yang diduga membangkang?
Kalimantan Timur tidak boleh menjadi wilayah abu-abu hukum. Jika instruksi Presiden dapat diabaikan tanpa konsekuensi, maka negara sedang menghadapi krisis wibawa di daerah.” Imbuhnya. (rey/daniel )