Fakta “kegagalan” Faida menjalankan roda pemerintahan Kabupaten Jember selama 4 tahun lebih sudah tak terhitung banyaknya. Mulai kegagalan yang tersirat, maupun kegagalan yang sudah jelas tersurat seperti gagalnya Faida menyusun APBD bersama DPRD berjalan mulus kecuali di tahun 2018, Surat KASN, Surat Mendagri melalui Gubernur, hilangnya peluang ribuan pencari kerja Jember menjadi CPNS tahun 2019 dan segudang fakta fakta lainnya.
Meski tidak semua warga Jember tahu dan memahami tentang itu, tetapi bisa dipastikan, hanya tinggal segelintir “elit” di Jember yang masih ngotot agar Faida memimpin lagi untuk periode ke 2. Fakta yang bisa dilihat secara kasat mata, tidak satupun partai besar di Jember yang berani terang-terangan mendorong Faida sebagai Calon Utamanya. Terlebih dengan hasil akhir panitia Angket yang disetujui oleh semua anggaota DPRD Jember. 50 dari 50 anggota DPRD Jember menyetujui Angket yang dengan tegas meminta Mendagri memberikan sanksi kepada Bupati Faida.
Kekuatan Faida hari ini sebenarnya hanya terletak UU Pemerintahan Daerah yang tidak lagi memungkinkan impeachmen terjadi dengan mudah. Juga pada Kekuasaanya Mengelola APBD, kewenangannya sebagai Bupati mengatur anggaran uang rakyat untuk dibelanjakan dalam bentuk sesukanya, plus kultur mayoritas masyarakat Jember yang cenderung pasiv dan diperparah dengan karakter birokrat yang relativ “pengecut”.
Andai model pemilihan Bupati seperti zaman awal otoda yang mekanismenya dipilih oleh DPRD, maka bisa dipastikan Faida hanya tinggal kenangan. Tetapi, apa lacur, pemilihan Bupati kedepan, pemilik Hak Suara adalah warga Indonesia dewasa yang ber KTP Jember. Dan mayoritasnya adalah orang-orang pasiv, orang-orang yang jauh dari informasi elit tentang kebobrokan managemen pemerintahan era rezim Faida.
Maka kemudian, publik hanya bisa berharap performance yang “wah” dari kandidat calon Bupati yang ada. Atau lebih ekstrimya, publik menginginkan munculnya satu orang calon saja agar berhasil mengalahkan petahana. Dengan Faida mendaftar lewat jalur independen, maka pertarungan nanti antara calon dari partai melawan calon independen.
Persoalan berikutnya malah lebih pelik.
Logikanya, secara matematis, mustahil ada koalisi besar dari semua partai yang ada untuk sepakat mengusung satu calon bersama. Ego partai dan ego masing2 kandidat menjadi penghalang utama terwujudnya keinginan besar itu. Kesimpulan nya tetap. Mustahil bisa terwujud pertarungan head to head.
Faida menang di pilkada nanti ? Woow…tunggu dulu. Saya malah sama sekali tidak percaya dengan kesimpulan itu. Saya punya optimisme berlebih bahwa Faida pasti kalah di pilkada nanti. Penentunya ada di level menengah. Mari kita runtut bersama, jangan lupa sruput dulu kopinya, dan nikmati tarikan nafasmu bersama asap rokoknya.
Pertama, bahwa di level menengah, mayoritas sudah tak lagi mudah percaya dengan janji janji manis Faida, artinya level menengah ini mayoritasnya adalah anti Faida yang sulit untuk berbalik menjadi Faida Lovers.
Kedua, di level menengah, sementara ini masih belum semuanya telah memutuskan pilihan kepada satu kandidat yang ada. Dan pastinya mereka belum akan bergerak masiv. Akibatnya, level akar rumput masih bergerak liar. Mereka belum mendapatkan pencerahan dari level menengah, sehingga, sah sah saja ada kekhawatiran bahwa dikalangan bawah, Faida masih unggul.
Ketiga, peran DPRD yang tak mungkin lagi mesra dengan Faida. Kondisi ini pastinya akan merepotkan Faida menggunakan APBD sesukanya. Apalagi APBD 2020, sampai hari ini dipastikan telah memporak porandakan strategi Faida menjelang pilkada.
Keempat, eksodus pendukung Faida 2015 dengan Gus Saif sebagai simbol perlawanan.
Kelima, Kiayi Muqit Arif tak lagi bersedia berpasangan dengan Faida.
Penulis : Kustiono Musri Aktivis LSM FORMAT