JAKARTA – IndonesiaPos
Memasuki awal abad ke-21, para akademisi bidang ilmu politik mulai meragukan optimisme akan penguatan demokrasi yang tumbuh di akhir abad ke-20.
Hal ini dibuktikan lewat gerakan reformasi di Indonesia pada 1998 yang proses transisinya justru dinilai tidak jelas seiring berjalannya waktu.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor bahkan mengatakan, di beberapa kasus, yang terjadi justru pembalikan demokrasi menjadi non-demokrasi. Untuk Indonesia sendiri, ia menilai saat ini berada di persimpangan antara demokrasi dan otoritarian.
“Yang terjadi di Indonesia ini adalah bukan transisi menuju demokrasi, tapi bentuk baru in between, antara authoritarian (otoritarian) dan demokrasi,” ujarnya dalam diskusi berjatuk The Future of indonesian Demoracy di Erasmus Huis, Jakarta.
Menurut Firman, kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dijelaskan lewat konsep competitive authoritarianism atau otoritarianisme kompetitif dan post-democracy atau pascademokrasi.
Ia menjelaskan, competitive authoritarianism menjelaskan fenomena sistem yang tidak sepenuhnya otoritarian mengingat masih berlangsungnya kompetisi pemilu. Namun, demokrasi yang ada dalam kondisi tersebut juga tidak dapat dikatakan berjalan baik karena kompetisinya dimanipulasi oleh rezim.
“iI happens now. Jadi kita seolah-olah demokrasi, tapi sebetulnya secara substansi we are in between antara demokrasi dan otoritarian,” jelas Firman.
Oleh karena itu, dalam competitive authoritarianism, demokrasi prosedural banyak yang dilanggar dan dibuat hanya untuk menguntungkan penguasa.
Sementara itu, kondisi pascademokrasi adalah model politik yang dikerjakan oleh creme de la creme yang dalam hal ini elites of the elites alias elitenya elite. Dengan kata lain, Firman menyebut Indonesia saat ini sudah dikangkangi oleh oligarki sebagai sumber pendanaan, sedangkan pelaksananya adalah partai politik.
Pascademokrasi sendiri dapat digambarkan dengan beberapa karakter. Pertama, kata Firman, masyarakat di dalamnya tidak peduli dengan kondisi politik yang terjadi. Baginya, itu dapat menjelaskan alasan mengapa Prabowo Subianto dapat memenangi kontestasi Pilpres 2024.
“Kedua, adanya mentality populism. Tidak hanya Boris Johnson, (Donald) Trump, (Narendra) Modi, (Recep Tayyip) Erdogan, tapi juga jangan-jangan Prabowo, Jokowi dengan bansos, makan siang gratis adalah bentuk lain dari populism,” terangnya.
Arif Wibowo : Mempersonifikasi Kebijakan Itu Cermin Perilaku Pemimpin Otoriter