Akhirnya, resmi sudah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mencalonkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wali Kota Solo dalam Pilkada 2020 ini. Diawali sejak 12 Desember 2019, Gibran mendaftarkan diri. Dengan jalan berliku ia memperoleh tiket untuk memasuki peta pertarungan politik kekuasaan daerah meski sebelumnya PDIP telah mengajukan dua nama bakal calon pasangan Wali Kota Solo, yakni pasangan Achmad Purnomo-Teguh Prakosa.
Serta-merta publik mengaitkan keputusan PDIP mencalonkan Gibran sebagai dinasti politik, mengingat dia anak Presiden Jokowi. Benarkah ini bagian dari upaya Jokowi membangun dinasti politik dan menjalankan politik dinasti?
Usman Kansong dalam tulisan rutinnya di Podium Media Indonesia, Sabtu (18/7), yang berjudul Gibran Ditentang Gibran tak Dilarang dengan jelas menyebutkan politik dinasti ialah proses meraih kekuasaan melalui jalur kekerabatan dan itu hanya terjadi dalam sistem kerajaan. Dijelaskan Usman bahwa dalam politik dinasti kerajaan, anak otomatis menjadi raja menggantikan ayahnya yang mangkat. Seorang raja berkuasa mengangkat anak atau kerabatnya sebagai pejabat kerajaan.
Akan tetapi, demokrasi tidak mengizinkan politik dinasti karena kekuasaan politik mesti diperoleh melalui sistem merit. Artinya, kekuasaan politik tidak otomatis digantikan keturunannya atau yang mempunyai relasi patron klien dengannya.
Menarik mengaitkan tulisan Usman Kansong tersebut sambil membaca semua proses yang dilalui Gibran untuk sampai pada keputusan dan memutuskan bertarung memperebutkan kekuasaan politik. Itu mengingat sebelumnya Gibran tampak sangat tidak tertarik pada politik dan lebih bergairah menjadi pengusaha.
Namun, melihat geliat yang dilakukannya untuk kemudian sampai memperoleh restu PDIP, terlihat bibit politik Gibran bukan sekadar didorong motif berkuasa (need for power), melainkan bisa dibaca sebagai upaya memenuhi ambisi dan motivasi lain yang lazim disebut sebagai motif berafiliasi (need for afiliation) sekaligus motif berprestasi (need for achievement).
Kondisi ini lazim dimiliki tiap manusia sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk politik. Namun, seperti dikatakan Usman Kansong, meskipun proses meritokrasi dilakukan, terutama melalui seleksi partai yang tentu tidak begitu saja mengajukan calonnya, Gibran tetap akan diuntungkan dengan posisi relasi patron kliennya dengan presiden.
Kalau kemudian banyak yang menyebut penunjukan Gibran sebagai calon Wali Kota Solo tak ubahnya politik dinasti melalui prosedur demokrasi, ia bisa bernama politik dinasti prosedural, yakni politik dinasti yang memenuhi prosedur demokrasi. Barangkali ini juga gambaran kekhawatiran Usman Kansong seperti kebanyakan persepsi publik yang merespons pencalonan Gibran sejak awal.
Istana dan Rekrutmen Politik.
Seandainya pun Gibran bukan anak seorang Jokowi, apakah berani dan bisa mulus langkahnya? Bisa ya, bisa tidak. Namun, jika membaca jalan panjang Jokowi menjadi Wali Kota Solo, bahkan dua periode, bukankah Jokowi juga berlatar belakang pengusaha, sama halnya seperti Gibran saat ini. Artinya, secara langsung kita bisa membaca motif Gibran untuk belajar dari pengalaman ayahnya. Pola ini persis sama seperti yang digagas Albert Bandura dan diperkuat Carl Hovland tentang asosiasi, reinforcement, dan imitasi. Gibran boleh jadi termotivasi kapasitas Jokowi yang berangkat ke politik tanpa embel siapa-siapa dan dari kekuatan apa, apalagi kekuatan Istana.
Jokowi juga sebelumnya bukanlah elite partai, tapi justru ia populer setelah memenangi kekuasaan dengan kualitas kepemimpinan yang dibangunnya secara sederhana. Bahkan, Jokowi menjadi media darling. Tentu saja ini bisa menjadi salah satu yang bisa diasosiasikan Gibran seperti teori Carl Hovland tadi sebagai motif berkuasa, jadi bukan membaca dirinya sebagai ‘putra sang presiden’. Bagaimanapun positioning itu justru akan membuatnya terbebani seandainya tidak terpilih.
Di sisi lain, Gibran juga membaca kesuksesan karier politik ayahnya sebagai reinforcement. Karena itu, kita juga membaca bahwa meski ada bau anak presiden, apakah Gibran secara popularitas dan terutama elektabilitas, memungkinkan menyalip bakal calon lain yang dilirik partai. Survei yang dirilis Solo Raya polling pada 22 Juni 2020, Gibran justru mengungguli Achmad Purnomo. Elektabilitas Gibran meningkat sebesar 14,6% menjadi 55% dari sebelumnya yang hanya 40,4%. Sementara itu, Achmad Purnomo melorot dari Januari 2020 sebesar 46,6% menjadi hanya 10% pada Juni 2020.
Hasil survei ini juga menjadi reinforcement yang ditawarkan Hovland bagi Gibran dan sekaligus bagi partai politik yang mengusungnya untuk membuka jalan berkuasa anak muda ini seperti sinyal motif berkuasa (need for power) yang digagas Mc Clelland.
Di sisi lain, Gibran harusnya berkaca pada perjalanan politik Jokowi, bukan menjiplak karier politik ayahnya. Artinya, ada cerita sukses Jokowi menjadi pemimpin di daerah yang kemudian mengantarnya menjadi pemimpin nasional. Dari sini teori Hovland bisa memantik motivasi berkuasa Gibran seiring dengan motif berprestasi (need for achievement).
Jadi, bukan semata-mata ‘mengimitasi’ kekuasaan dan jalan berkuasa yang dikejar, tapi bagaimana ‘imitasi’ Gibran atas kekuasan bapaknya yang memulai karier dari bawah. Gibran harus melepaskan diri dari jerat politik patron klien yang dangkal, juga harus melihat bahwa bukan Istana yang menentukan kemenangannya.
Dia bukan berangkat dari Istana, tapi berangkat dari individual dan partai yang mengusungnya dan rakyat yang akan memilihnya. Prasangka politik dinasti Tidak satu pun yang bisa menyangkal bahwa Gibran anak Jokowi yang seorang presiden. Karena itu, Gibran bisa menyingkirkan bakal calon lain yang sudah digadang-gadang partai untuk diusung dalam pencalonan Wali Kota Solo. Asumsi itu juga tidak bisa disalahkan meski tidak sepenuhnya tepat. Akan tetapi, di era keterbukaan publik dan kebebasan berargumentasi ini, semua pesan politik, baik berupa prasangka maupun bukan, itu harus dibaca Gibran.
Baron dan Byrne pernah mengingatkan bahwa ‘prasangka timbul karena kompetisi yang berbeda untuk meraih kesempatan atau sumber daya yang terbatas’. Ketika kelompok ada dalam situasi kompetisi, seharusnya memunculkan homogenitas out group, yakni kecenderungan untuk melihat semua anggota kelompok dari out group ialah sama.
Partai politik seharusnya bisa mengelolanya sebagai insentif sehingga kekecewaan politik yang terjadi di dalam karena kehadiran Gibran yang menyebabkan hengkangnya calon lain yang sebelumnya dianggap potensial, harus dianggap sebagai sebuah proses kompetisi realistis dalam politik.
Intinya, pencalonan Gibran tak bisa dilarang walau mungkin mengecewakan banyak orang. Tak ada larangan yang ditabrak Gibran sehingga pencalonannya harus ditolak. Kritik publik tentang pembiaran Jokowi terhadap pencalonan anaknya yang dianggap tidak menunjukkan keteladanan, padahal keteladanan sejatinya terkait dengan etika, sampai kapan pun kita tidak akan menemukan kesepahaman soal etika di panggung politik.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan aturan yang melarang politik dinasti dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 merupakan jalan politik bagi siapa pun untuk secara sah dan meyakinkan maju ke pertarungan politik, meski untuk itu ditengarai punya relasi patron klien dengan penguasa sekalipun.
Jika ingin melarang politik dinasti, ‘bikinlah aturan hukum, undang-undang, dan larangan yang mengaturnya’, ungkap Usman. Di dunia ini politik dinasti itu terjadi, meski ditentang, tetap tak bisa dilarang. Kini, Gibran telah ditetapkan untuk dicalonkan partainya. Kita sebagai penonton tinggal menunggu akankah pementasan aktor politik Gibran ciamik nantinya.
Ditulis oleh : Lely Arrianie, Dosen Komunikasi Politik Universitas Nasional Jakarta, Presidium Asosiasi Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI)