JAKARTA, IndonesiaPos
Meningkatnya penipuan siber yang memanfaatkan meningkatnya virus COVID-19 yang terdeteksi di Asia dalam 2 minggu terakhir, contohnya di Tiongkok, Vietnam, Korea Selatan, dan banyak lagi.
Sementara itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang terpapar. Pelaku cyber crime memanfaatkan ketakutan dan kekacauan yang disebabkan oleh pandemi global ini.
“Dengan meningkatkan serangan siber, pencadangan tradisional menjadi target para pelaku kejahatan siber dimana pencadangan ini tidak lagi cukup untuk melindungi data, aplikasi, dan sistem,” ujar Managing Director PT Optima Solusindo Informatika, Refany Iskandar dikutif rri.co.id.
Survei menunjukkan bahwa hanya mengandalkan pencadangan untuk keberlanjutan bisnis seutuhnya sangatlah berbahaya karena 88% profesional TI mengutamakan ransomware, 86% – pembajakan kripto, 87% – serangan rekayasa social engineering seperti phishing, dan 91% – pembobolan data.
Pengguna personal: hampir sama tinggi, naik 33% dibandingkan dengan survey Acronis 2019, sementara 30% pengguna personal dan 12% profesional TI tidak akan tahu jika data mereka diubah mendadak dan 30% pengguna personal dan 13% profesional TI tidak yakin apakah solusi anti malware bisa menghentikan ancaman zero-day.
Sementara itu, 9% perusahaan melaporkan bahwa mereka tidak tahu apakah downtime yang mereka alami mengakibatkan kehilangan data tahun ini.
Menurutnya, untuk memastikan perlindungan lengkap, pencadangan yang aman harus menjadi bagian dari pendekatan perlindungan siber komprehensif dari sebuah perusahaan, termasuk alat perlindungan ransomware, disaster recovery, cyber security, dan perangkat manajemen.
“Pendekatan terintegrasi mendalam ini juga memenuhi Lima Vektor Cyber Securiry; memberikan keselamatan, aksesibilitas, privasi, autentisitas, dan keamanan (safety, accessibility, privacy, authenticity, dan security atau SAPAS) untuk semua data, aplikasi, dan sistem,” pungkasnya