<

Kegenitan Tiga Pimpinan KPK

?????????????????????????????????????????????????????????

Tiga komisiner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu, 20 November kemarin untuk menyampaikan permohonan uji materi. Gugatan diajukan terhadap Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketiganya, Ketua KPK Agus Rahardjo serta dua wakil ketua, yaitu Laode M Syarif dan Saut Situmorang, mendaftarkan perkara tersebut ke MK. Tampak gagah memang, mereka mewakili para pemohon lainnya untuk menyambangi Mahkamah Konstitusi demi mencari keadilan atas UU KPK hasil revisi yang mereka nilai cacat.

Namun, ketiga pemimpin KPK itu seperti tidak sadar bahwa langkah mereka tidak elok jika dipandang dari etika ketatanegaraan. Agus Rahardjo, Laode, dan Saut merupakan tiga dari lima komisioner KPK yang dilantik Presiden untuk periode jabatan 2015-2019. Masa jabatan mereka baru berakhir bersamaan dengan pelantikan pimpinan KPK periode 2019-2023 pada 21 Desember mendatang.

Dalam sumpah jabatan sesuai Pasal 35 UU KPK, komisioner KPK wajib mempertahankan dan mengamalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia. Mereka juga berjanji tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang seperti yang diamanatkan undang-undang.

Dalam bahasa yang lebih ringkas, komisioner KPK ialah pelaksana undang-undang. Tidak ada pilih-pilih, sumpah jabatan mereka meliputi semua undang-undang yang berlaku, tidak terkecuali Undang-Undang No 19 Tahun 2019 yang disahkan DPR pada 17 Oktober 2019.

Ketiga pemimpin KPK yang menjadi pemohon uji materi UU KPK itu berdalih mereka bertindak atas nama pribadi, bukan institusi. Meski begitu, sungguh naif bila ketiganya tidak sadar bahwa selama masih menjabat komisioner KPK, sosok mereka lekat dengan institusi yang mereka pimpin itu.

Bukankah mereka juga yang berkali-kali mengimbau aparatur sipil negara, kepala daerah, dan anggota parlemen agar tidak menerima pemberian bingkisan Lebaran. Alasannya, walaupun mungkin pemberian itu disebut ditujukan kepada pribadi, patut diduga bingkisan itu berhubungan dengan jabatan. Dugaan itu terus melekat selama aparat atau pejabat yang bersangkutan masih bekerja di lingkungan pemerintahan.

Perhatian ketiga pemimpin KPK terhadap substansi peraturan perundang-undangan agar KPK tetap kuat memberantas korupsi patut kita apresiasi. Akan tetapi, alangkah baiknya jika mereka berperan sebagai narasumber yang memberikan masukan kepada pemohon tentang poin-poin yang mereka anggap melemahkan KPK. Tidak malah bergenit-genit mencari perhatian dengan tampil mengajukan permohonan uji materi.  

Sejauh ini, selain permohonan yang mereka ajukan, sudah ada empat perkara uji materi UU KPK yang tengah berproses di MK. Masukan ketiga pemimpin KPK itu tentu akan sangat berguna memperkuat gugatan di perkara-perkara yang sudah terlebih dahulu masuk tersebut.

Peran di belakang layar juga tidak menuntut banyak waktu mereka yang jelas lebih berharga bila difokuskan pada penuntasan kasus-kasus yang mangkrak. Masih ada empat pekan waktu yang tersisa bagi pimpinan KPK periode 2015-2019 untuk semakin mengilapkan kinerja memberantas korupsi.

Pilihan ini mestinya tidak sulit. Pimpinan KPK bisa memilih mengakhiri kerja dengan prestasi atau dengan dugaan mengabaikan sumpah jabatan. (Sumber : Media Indonesia)

BERITA TERKINI