Editorial IndonesiaPos
Pada 13 April 2025, tepat 75 tahun hubungan Indonesia dan Tiongkok di era modern. Walaupun begitu, hubungan kedua negara sudah terjalin sejak ratusan tahun lalu pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara.
Tujuh puluh lima tahun hubungan kedua negara diwarnai banyak perjalanan naik dan turun. Sejak 2000-an, hubungan kedua negara semakin erat hingga di level kemitraan komprehensif strategis pada 2013. Level tertinggi dalam status hubungan bilateral antarnegara.
Eratnya hubungan kedua negara ini ditandai banyak dalam angka ekonomi dan perdagangan yang makin meningkat. Jika kita menelaah hubungan kedua negara, angka-angka statistik ekonomi perdagangan selalu mendominasi. Memang ini menjadi parameter utama dalam peningkatan hubungan kedua negara.
Akan tetapi, di sisi lain, kita tidak bisa memungkiri tantangan hubungan kedua negara juga masih cukup besar, terutama masih adanya mispersepsi dan sentimen negatif sebagian masyarakat kita dalam melihat Tiongkok.
Sentimen-sentimen warisan dari pola pikir era Perang Dingin, yang sengaja atau tanpa sengaja ada yang menjadikan ini sebagai alat simpanan untuk melecut provokasi dalam hubungan kedua negara.
Meningkatnya ekonomi Tiongkok di dunia juga berkelindan dengan investasi Tiongkok di Indonesia yang tiap tahun makin meningkat.
Di luar isu ekonomi, tantangan politik, keamanan di Laut China Selatan, hubungan antarwarga, dan dinamika politik global menjadikan kedua negara makin harus berperan dalam menangani isu-isu tersebut.
TANTANGAN DAN PELUANG
Tulisan pendek ini mencoba membagi tantangan dan peluang hubungan kedua negara dalam skala mikro dan makro. Secara mikro, itu mencakup hubungan bilateral.
- Dengan dilandasi oleh kepentingan nasional masing-masing, harus juga dilandasi oleh kepentingan bersama. Dalam kerja sama ekonomi perdagangan, meningkatnya perdagangan kedua negara dan investasi Tiongkok di Indonesia membutuhkan daya dukung seperti regulasi dari pemerintah, baik pusat maupun daerah yang kuat dan pasti, peningkatan dan ketersediaan SDM lokal, rantai pasok, jaringan infrastruktur dan transportasi, dan lain sebagainya.
Hasil pengamatan penulis secara langsung atau tak langsung di lapangan saat ini mulai meningkat investasi Tiongkok di Indonesia yang mulai merambah ke industri manufaktur. Akan tetapi, ada tantangan yang terbentang, yakni tidak diiringi oleh regulasi oleh pemangku kebijakan yang fleksibel, adaptif, dan efisien. Karena itu. membuka celah penyalahgunaan oleh oknum regulator ke pada pihak investor. Penyalahgunaan itu bisa menimbulkan korupsi, suap, dan permintaan gratifikasi.
Tantangan lainnya ialah dengan meningkatnya investasi Tiongkok di banyak daerah di Indonesia, membutuhkan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) lokal. Satu contoh di salah satu kawasan industri di Jawa Tengah, pascacovid 2020 banyak bermunculan investasi dari Tiongkok di bidang manufaktur. Mereka membutuhkan ribuan pekerja, sementara ketersediaan SDM lokal masih terbatas, khususnya kebutuhan SDM yang sesuai dengan klasifikasi tertentu.
Selain karena masih belum cukupnya SDM lokal, persoalan ini juga bisa menimbulkan kerawanan sosial yang dipicu oleh kesalahpahaman kedua pihak karena untuk menutup kekurangan SDM lokal yang berkualifikasi, sebagian perusahaan Tiongkok akhirnya mendatangkan pekerja dari negaranya walaupun juga perbandingan jumlahnya tetap jauh lebih banyak pekerja lokal. Gagal paham, kurang komunikasi, perbedaan kultur bekerja, dan masih adanya persepsi negatif sebagian masyarakat dalam isu Tiongkok bisa menjadikan lecutan bara api konflik.
- Peningkatan dan penguatan hubungan antarwarga kedua negara. Bisa menjadi salah satu solusi dalam mengurangi konflik dan mispersepsi di akar rumput. Pertukaran hubungan antarwarga, selain ialah fondasi utama dalam hubungan kedua negara, juga bisa menjadi solusi yang efektif untuk mengurangi sentimen dan persepsi negatif di masyarakat kedua negara. Walaupun di satu sisi selama ini investasi Tiongkok di Indonesia kurang sekali dalam komunikasi publik, pelibatan masyarakat setempat dan pemahaman terhadap kultur lokal.
- Tantangan mikro lainnya ialah peningkatan diplomasi halal. Potensi pasar industri makanan halal di Tiongkok tiap tahun mengalami peningkatan signifikan. Penulis yang pernah tinggal lebih dari tujuh tahun di beberapa kota yang berbeda di Tiongkok melihat potensi ini sangat besar. Dengan lebih dari 30 juta penduduknya yang muslim, Indonesia bisa menjadikan ini sebagai momentum membuka ekspor pasar produk halal di Tiongkok di luar hasil komoditas pertanian atau perkebunan dan mineral.
EFEK KEBIJAKAN TRUMP
Tantangan makro dalam hubungan kedua negara saat ini mengalami peningkatan drastis khususnya pasca Donald Trump mengeluarkan kebijakan perang tarif. Tak hanya karena perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) tapi juga kebijakan tarif Trump yang diberlakukan ke hampir semua negara di dunia.
Kebijakan tarif baru Trump bisa mengakibatkan resesi global yang ujungnya juga akan berdampak pada Indonesia yang dinilai terbatas dibandingkan negara terintegrasi lainnya yang kuat secara perekonomian global.
Selama ini, pasca perang dagang fase satu Trump 2018, banyak perusahaan manufaktur dari Tiongkok melakukan relokasi atau membuka pabrik baru ke negara-negara Asia Tenggara, salah satunya ke Indonesia.
Saat ini, Indonesia juga terdampak dari kebijakan baru Trump, namun tidak akan signifikan, seperti penjelasan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto saat memberikan paparan dalam Sarasehan Bersama Presiden Prabowo Subianto di Jakarta (8/4/2025) “Nilai ekspor Indonesia ke AS hanya berada di 2,2% dari total produk domestik bruto (PDB), berbeda dengan Vietnam yang memiliki nilai ekspor ke AS sebesar 33% dari total PDB nya. Sehingga dengan demikian, kita bisa menahan akibat terhadap perekonomian kita.
Jadi, Amerika bukan satu-satunya market yang membuat kita susah. Kita bisa antisipasi ini. Sementara itu, top ekspor Indonesia ke Tiongkok ialah US$60 miliar, Amerika US$ 26 miliar, dan India US$ 20 miliar.
Kebijakan AS yang sepihak tersebut menjadikan Tiongkok dan Indonesia harus memperkuat kerja sama multilaterisme dan membuka potensi perdagangan pasar-pasar baru. Indonesia dan Tiongkok bisa menjadi garda terdepan dalam memperluas kerja sama multilateral global di tataran antarnegara-negara berkembang, khususnya dalam menghadapi hegemoni Barat.
Dalam konteks perdagangan, proyek-proyek infrastruktur di Indonesia mendukung negara ini menjadi bagian dari simpul-simpul penting dalam rantai pasok dagang internasional. Misalnya, menurut penelitian Wulandari dan Inayah (2021), terdapat peningkatan jumlah ekspor Indonesia ke Tiongkok setelah diberlakukannya BRI. Artinya, hubungan Indonesia-Tiongkok yang semakin dekat berbanding lurus dengan intensitas kedua negara dalam hal ekonomi. Kerja sama kedua negara melalui BRI dapat memberikan keuntungan bagi kedua negara yang mana Tiongkok dan Indonesia dapat menjadi mitra dagang yang saling menguntungkan.
Tahun 2025 ini juga menjadi peringatan 70 tahun Dasasila Bandung. Semangat Dasasila Bandung yang lahir dari Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 mempunyai prinsip-prinsip luhur seperti solidaritas, kerja sama, dan penghormatan terhadap kedaulatan negara. Tak hanya sekadar catatan sejarah, tapi juga petunjuk moral yang masih sangat relevan untuk menavigasi kompleksitas tantangan global saat ini.
Tiongkok mempunyai peran yang signifikan dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 yang melahirkan Dasasila Bandung. Dasasila Bandung itu mengadopsi dan mengembangkan kebijakan Tiongkok dalam lima prinsip hidup berdampingan (five prinsiples of coexistence).
Lima prinsip yang berisi saling menghormati terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan (mutual respect for territorial integrity and sovereignity), tidak melakukan serangan agresi (nonagression), tidak melakukan campur tangan terhadap urusan dalam negeri negara lain (noninterference in the internal affairs of others), kesetaraan dan saling menguntungkan (equality and mutual benefit), serta hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence).
Di tataran global, Tiongkok menjadikan prinsip Dasasila Bandung sebagai salah satu kompas dalam kebijakan luar negerinya hingga kini. Dasasila Bandung masih sangat relevan dalam konteks dunia saat ini. Apalagi dengan kebijakan sepihak oleh Amerika Serikat saat ini.
Prinsip-prinsip KAA dapat menjadi landasan bagi gerakan global untuk mewujudkan dunia yang lebih adil, damai, setara, saling menghormati, dan berkelanjutan.
Bergabungnya Indonesia di BRICS bisa menjadi salah satu kebijakan pemerintah RI untuk menguatkan hal tersebut. Potensi pasar negara-negara anggota BRICS bisa membuka alternatif bagi Indonesia untuk meningkatkan kerja sama ekonomi yang bersifat saling menguntungkan.
Bagi Indonesia, bergabungnya ke BRICS bisa meningkatkan peran aktif Indonesia dalam isu-isu global serta komitmen untuk memperkuat kerja sama multilateral demi mewujudkan tatanan global yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Efek kebijakan tarif sepihak oleh Amerika Serikat saat ini bisa menjadikan momentum 75 tahun hubungan Indonesia-Tiongkok dalam penguatan prinsip-prinsip kerja sama internasional yang setara, inklusif, dan saling menghormati seperti apa yang selama ini digaungkan oleh Barat terkait dengan liberalisme dalam perdagangan, keterbukaan pasar, free trade dan fair trade.
Penulis :
Achmad Syaifuddin Zuhri Direktur Sino-Nusantara Institute Rais Syuriyah PCINU Tiongkok 2021- 2023, dosen FISIP UIN Walisongo Semarang