JAKARTA, IndonesiaPos
Pemilu Amerika Serikat (AS) 2020 belakangan ini, memang sangat penuh kontoversi. Namun, hasil dari hak suara masyarakat AS semalam telah mengumumkan, bahwa capres petahana dari Partai Republik Donald Trump tumbang setelah dikalahkan capres dari partai Demokrat Joe Biden.
Dari hasil yang ada, Trump sudah dipastikan hanya mengantongi dukungan 214 elektor, sementara Biden 273 elektor.
Namun siapa yang sangka, kisah Trump menjadi Presiden AS begitu sangat menarik dimata masyarakat dunia. Hal tersebut, disimbolkan dengan slogan “Make America Great Again”, Trump berhasil meraih kunci Gedung Putih pada 2016 lalu setelah mengalahkan Hillary Clinton.
Tidak lama selama menjabat Presiden AS, pria berusia 74 tahun ini dikenal sebagai pemimpin yang kontroversial. Apa saja kebijakan dan sikap kontroversial Trump selama memimpin negara AS? Berikut ulasannya:
Pembatasan Imigran
Di awal kepemimpinannya, Trump secara ketat membatasi kedatangan para imigran dari Meksiko hingga membangun tembok di sepanjang perbatasan. Trump di awal jabatannya juga menghentikan sementara kedatangan Muslim ke Negeri Paman Sam, setelah adanya serangan teroris di Paris pada 2015.
Kemudian mulai Oktober 2019, Trump menerapkan kebijakan imigrasi baru yang akan menyaring populasi imigran di AS. Kebijakan ini menolak imigran tanpa penghasilan yang ingin masuk AS atau menjadi warga tetap. Sontak kebijakan-kebijakan ini membuat AS di bawah kepemimpinan Trump antiimigran.
Perang Dagang
Pebisnis properti ini juga kerap menyerang negara lain melalui kebijakan perang dagang. Seperti menaikkan bea masuk baja dari Brasil dan Argentina, menaikkan bea masuk produk pertanian Prancis hingga 100 persen.
Perang dagang AS dengan China mulai 2018 yang banyak berdampak luas secara internasional. Trump memberlakukan bea masuk terhadap barang-barang China senilai 34 miliar dolar AS. China pun membalas dengan tindakan serupa.
Skandal Rusia
Kemenangan Trump di Pemilu AS 2016 sempat dikaitkan dengan peran Rusia. Badan intelijen AS menemukan dokumen yang diduga Trump telah bekerja sama dengan Rusia.
Skandal ini sempat diselidiki mantan Direktur FBI, Robert Mueller pada 2017. Saat itu, Mueller diangkat sebagai jaksa khusus untuk menyelidiki keterlibatan Rusia dalam Pemilu 2016.
Namun, dua tahun penyelidikian, tak ditemukan indikasi Trump maupun tim kampanyenya berkolusi dengan Rusia. Meski lolos dari dugaan itu, Trump dituduh berupaya menghambat penyelidikan Mueller. Dalam dokumen setebal lebih dari 400 halaman itu, terungkap Trump setidaknya 10 kali mencoba menghentikan penyelidikan, salah satunya berupaya memecat Mueller.
Potensi Dimmakzulkan DPR
Tudingan Trump menghambat penyelidikan Mueller atas skandal Rusia sempat dijadikan amunisi oposisi Partai Demokrat di Kongres untuk menyerang Trump, bahkan memakzulkannya pada 2019. Namun, akhirnya Demokrat enggan menggulingkan Trump karena dianggap kurang elok menjelang Pemilu 2020. Terlebih, suara Senat dikuasi Republik, sehingga pemakzulan juga dirasa akan sulit.
Sebenarnya, Trump sejak dilantik Presiden AS sudah berpotensi dimakzulkan. Selain tuduhan berkolusi dengan Rusia, Trump juga dituduh menerima gratifikasi dari utusan asing, konflik kepentingan.
Baca Juga : Mengenal Sosok Kamala Harris, Wapres AS Pertama Berkulit Hitam Asal Asia
Kemudian, berhubungan dengan kelompok neo-Nazi dan supremasi kulit putih. Hingga yang terbaru skandal dengan Ukraina terkait penyelidikan kasus pencucian uang anak Joe Biden, Hunter Biden, yang menjadi salah satu petinggi perusahaan energi Ukraina, Burisma Group.
Trump Berseteru dengan Ketua DPR Nancy Pelosi
Hubungan politik Trump dan Ketua DPR Nancy Pelosi memanas pada awal Februari 2020. Perseteruan keduanya makin terlihat ke publik saat pidato kenegaraan di Senat.
Saat itu, Trump menolak menjabat tangan Pelosi, sementara Pelosi membalasnya dengan merobek naskah pidato Trump sebanyak 4 kali. Dalam pidato selama 80 menit, Trump terus membanggakan kepemimpinnya. Seluruh anggota Senat dan Kongres dari Republik riuh memberi tepuk tangan Trump, sedangkan anggota dewan dari Demokrat hanya diam seribu bahasa.
Sejak awal, Pelosi juga tidak menyebut nama Trump ketika mempersilakannya membacakan pidato. Pelosi hanya mengatakan “Anggota Kongres, ini Presiden Amerika Serikat”.
Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel
Trump membuat geger dunia usai secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017. Trump pun langsung memerintahkan Kemlu AS untuk segera memulai proses pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Menurut Trump, langkah pemindahan kedubes AS di Israel selama ini tidak bisa dilakukan para Presiden AS sebelumnya. Pada 1995, Kongres AS sebenarnya telah meloloskan UU yang mengharuskan Kedubes AS dipindah dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Namun, komunitas internasional hanya mengakui Tel Aviv sebagai Ibu Kota Israel. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, merespons upaya Trump ini sebagai langkah penting yang bersejarah.
Pandemi Corona
Sikap Trump terkait penanganan pandemi virus corona menuai polemik. Trump awalnya menyepelekan bahaya penularan corona dan menyebutnya sebagai “flu kecil” yang akan cepat sembuh.
Namun usai kasus infeksi dan kematian di AS melonjak tajam, Trump malah berkali-kali menuding China bertanggung jawab atas pandemi corona. Bahkan menyebut WHO bekerja sama dan menjadi “boneka” China.
Trump pun mengancam penghentian pendanaan ke WHO yang mencapai 450 juta dolar AS. Ia juga sempat menyarankan ilmuwan soal proses penyembuhan pasien positif corona dengan suntik disinfektan.
Trump dan ibu negara Melania akhirnya tidak luput dari penularan corona pada 2 Oktober. Keduanya langsung menjalani perawatan COVID-19 di Rumah Sakit Militer Walter Reed, Maryland.
Diduga penularan terjadi karena Gedung Putih tifak menerapkan upaya pencegahan corona secara maksimal. Trump juga kerap tak memakai masker saat acara kepresidenan.
Usai Trump positif corona banyak staf Gedung Putih dan politikus senior Partai Republik yang akhirnya juga dinyatakan positif COVID-19. Buruknya upaya kepemimpinan Trump dalam mengatasi pandemi corona ini yang kerap menjadi bahan serangan lawannya, Joe Biden, selama kampanye Pemilu 2020.