JAKARTA – IndonesiaPos
Mahkamah Agung (MA) tidak dapat melakukan evaluasi terhadap majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum Harvey Moeis pidana penjara 6,5 tahun.
Harvey merupakan salah satu terdakwa kasus megakorupsi tata niaga timah dengan total kerugian Rp300 triliun.
Juru bicara MA, Yanto, menegaskan, hakim bekerja secara independen dalam menjatuhkan putusan. Hal tersebut membedakan kinerja hakim dengan aparat penegak hukum lainnya seperti polisi dan jaksa.
“(Kami) tidak bisa (evaluasi). Kan hakim itu mandiri, independen. Beda dengan polisi, apa kata Kapolri, jaksa apa kata Jaksa Agung. Kalau kita itu, begitu perkara diketok oleh majelis, enggak bisa intervensi,” ujarnya kepada Media Indonesia, Jumat (3/1/2024).
Yanto juga mengingatkan bahwa hukuman terhadap Harvey belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Pasalnya, jaksa penuntut umum (JPU) sedang mengupayakan banding. Nantinya, jika putusan banding sudah keluar, masih ada upaya hukum lainnya sampai ke tingkat kasasi.
“Kalau di putusan banding enggak puas, ada upaya hukum namanya kasasi. Jadi saya tidak bisa menilai apakah itu terlalu ringan atau tidak, kan yang tahu pertimbangannya majelis hakim, kenapa menjadi ringan,” jelas Yanto.
Diketahui, majelis Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengadili perkara Harvey diketuai oleh hakim Eko Aryanto. Salah satu hal meringankan putusan Harvey disebabkan karena terdakwa berlaku sopan selama persidangan.
Selain itu, Harvey juga disebut memiliki tanggungan keluarga dan belum pernah dihukum.
Yanto menjelaskan keadaan meringankan maupun memberatkan putusan yang menjadi pertimbangan majelis hakim sudah digariskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Beleid tersebut mewajibkan hakim untuk mencantumkan hal meringankan maupun memberatkan hukuman seorang terdakwa.
“Kalau mau dihapus (keadaan meringankan), ya diubah dulu (undang-undangnya) ya,” tandasnya.
Kasus Harvey Moeis Rugikan Negara Terbesar dan Vonisnya Terendah