EDITORIAL, IndonesiaPos
GMNI merupakan Organisasi Mahasiswa yang tidak tunduk pada kiai atau tokoh agama lainnya. Ideologinya Marhaenisme, bukan Aswaja, Wahabi, atau paham keagamaan lainnya. Ia lebih fokus berbicara kebangsaan.
Di GMNI diajarkan bagaimana radikalisasi, dan progresifitas gerakan. Masuk GMNI semuanya sama, memiliki hak yang sama untuk berbicara, memilih dan dipilih. Tidak ada klas apapun didalamnya, mau ia anak seorang kiai, pastor, biksu, bahkan malaikat sekalipun.
Namun, khusus di Kabupaten Pamekasan, hari ini besar di Kampus-kampus yang bisa dibilakang Aswaja. Bahkan Ketua Cabang hari ini merupakan seorang santri, dan pengurusnya juga didominasi oleh para santri. Bahkan hingga ke DPK-DPK se Kabupaten Pamekasan, relatif banyak dihuni para santri. Santri yang belajar dan menganut paham Marhaenisme, ideologi besar yang digaungkan oleh seorang Proklamator Kemerdekaan, Ir Soekarno.
Apakah GMNI ini yang dianggap teroris karena alasan di atas? tentu saja tidak. Jauh sebelum ada slogan Pancasila dan NKRI harga mati populer belakangan ini, kader GMNI sejak Komisariat yang sekarang menjadi DPK, sudah makanan sehari-hari berbicara itu. Bahkan, tidak sebatas kajian semata, tapi sudah tahap ejawantah dari nilai tersebut.
Salah satu ukurannya sederhana, Kader GMNI tidak diajarkan ketika merasa yakin bahwa jalan memilih Marhaenisme dan Pancasila sebagai pegangan hidup, tidak terus kemudian diajarkan untuk mengatakan kelompok lain serta-merta salah. Karena kader GMNI percaya, Gotong Royong merupakan nilai dasar dari Pancasila itu. Di mana, makna gotong royong itu banyak, ada tenggang rasa, pun juga toleransi. Yang pada prinsipnya, jika ada orang lain, atau kelompok lain itu sakit, kader GMNI merasakan sakit yang sama. Sederhananya, Pancasila ada di hati masing-masing kader GMNI.
Jadi jika di Bumi Gerbang Salam terindikasi ada aliran-akiran fundamentalis, atau yang bisa disebut Radikalisme belakangan ini, sebaiknya kita bedah bareng-bareng agar tidak menjadi bias. Di mana kelompok itu ada? Dan bagaimana cara masuknya? sebaiknya dibahas bersama, terutama libatkan Organisasi Mahasiswa baik Intra maupun ekstra kampus. Jika benar itu ada, kita sudah punya perangkat yang namanya Kepolisian, BNPT dan pihak berwenang yang lainnya. Laporkan saja. Jangan kita mengambil peran yang sebenarnya bukan tugas kita,Jumat (02/04/2021).
Toh yang kita pahami bersama, ‘Amar Ma’ruf nahi mungkar, bentuk ejawantahnya amar bil ma’ruf dan nahi mungkar bil ma’ruf, bukan? Artinya, penyampaian pun harus dengan cara-cara yang baik.
Pernyataan yang disampaikan dengan cara-cara provokasi, bukannya menyelesaikan masalah, justru akan menjadi bias bagi mahasiswa. Jika itu dibiarkan, bukankah itu akan menjadi masalah baru? bukannya kita memberantas Fundamentalisme, Terorisme, Radikalisme, atau apapun namanya itu yang kita sama-sama tidak sepakat, justru malah kita menciptakan ketegangan satu sama lain.
Ditulis oleh : HELMI SALFI