Penulis: Yondrik,S.H
Wakil Ketua Bapemperda DPRD Kab Bondowoso Fraksi Amanat Golongan Karya Sekaligus Ketua PD AMPG Bondowoso Jawa Timur
EDITORIAL IndonesiaPos
Presiden telah mengeluarkan dan mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional (SHSR). Fungsi perpres SHSR ini sebagai referensi atau estimasi prakiraan biaya dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) Perpres 33/2020).
Adapun harga satuan regional yang diatur meliputi: a) satuan biaya honorarium, b) satuan biaya perjalanan dinas dalam negeri, c) satuan biaya rapat/pertemuan di dalam dan di luar kantor, d) satuan biaya pengadaan kendaraan dinas, dan e) satuan biaya pemeliharaan (Pasal 1 ayat (2) Perpres 33/2020).
Implementasi Program di Daerah
Sepintas perpres di atas terlihat cukup membantu untuk mendukung pengelolaan keuangan daerah secara efisien. Tetapi bila dikaji lebih jauh, patokan-patokan satuan biaya yang diatur di dalam perpres tersebut justru kontraproduktif dengan perencanaan dan pelaksanaan APBD di daerah.
Pertama, patokan itu dibuat secara nasional. Persoalannya, apakah SHSR itu sudah meninjau kondisi dan kebutuhan tiap-tiap daerah dalam menjalankan program pemerintahan di daerah? Kebijakan menyangkut patokan penganggaran memang baik, tapi itu menjadi masalah bila itu disusun berdasarkan pertimbangan nasional tanpa meninjau standar kebutuhan daerah.
Kedua, bila SHSR itu dipaksakan, maka kreatifitas pengelolaan pemerintah daerah menjadi terbatas. Bahkan pengelolaan pemerintah bisa terjebak pada sekedar ‘rutinitas program’ yang ada saja yang asal sesuai dengan ketentuan SHSR. Dobrakan-dobrakan yang mungkin bisa muncul dari pengelolaan dan penyerapan anggaran sesuai kebutuhan daerah akan sedikit banyak terkendala oleh hadirnya perpres tersebut.
Sebab itu, ditinjau dari sisi ini saja, perpres itu patut ditinjau kembali demi kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahan daerah.
Pemangkasan Hak
Persoalan lain yang menjadi sorotan dari Perpres Nomor 33/2020 itu adalah pemangkasan hak, terutama di sini adalah hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebagai lembaga yang punya peran dan tanggung jawab menjalankan aspirasi rakyat, mempertahankan hubungan yang baik dengan konstituen dan terus mendengarkan aspirasi mereka yang tersebar di dapilnya masing-masing, tentu merupakan suatu keharusan tanggung jawab politik dan moral sosial.
Sebab itu, sudah tentu mereka dituntut aktif untuk menemui mereka. Akibatnya, mobilitas mereka menjadi tinggi. Tapi sejauh ini, mobilitas mereka yang tinggi – untuk menemui konstituen-konstituennya – bisa terpenuhi cost-nya dengan cukup baik melalui jatah uang yang diperoleh dari honor kunjungan kerja atau studi banding ke luar daerah. Dengan kata lain, jatah uang itu masih bisa mereka sisihkan untuk kepentingan merajut hubungan dengan konstituen.
Tetapi, dengan hadirnya Perpres Nomor 33 Tahun 2020 yang mengatur SHSR, maka jatah uang kunjungan terpangkas sehingga menjadi susah sekali untuk disisihkan seperlunya untuk kegiatan lain seperti untuk menemui konstituen-konstituen mereka. Dengan kata lain, perpres itu menjadi kendala bagi mobilitas mereka untuk menjalin hubungan yang aktif dan konsisten dengan konstituen mereka.
Dengan demikian, ditinjau dari fungsionalitasnya, perpres itu bukannya mendatangkan manfaat bagi anggota DPRD, tapi justru kontra produktif dengan upaya mereka yang sejatinya dituntut aktif meninjau konstituen-konstituen mereka. Sekali lagi, sangat disayangkan kehadiran perpres ini.
Ongkos Politik
Selain itu, sudah jamak diketahui bahwa kontestasi pemilihan legislatif membutuhkan cost (ongkos) politik yang tinggi. Banyak anggota DPRD yang terpilih justru terbebani oleh hutang yang berjibun. Sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk bisa menutupi hutang mereka. Salah satunya adalah dengan menggadaikan SK keterpilihannya sebagai anggota DPRD ke bank sebagai jaminan untuk menutupi hutang-hutangnya.
Di titik ini, kita perlu apresiasi. Sebab, dengan jalan itu, dia membiayai ongkos politiknya dengan cara yang transparan dan dibenarkan. Kadang-kadang, mereka menutupi hutang-hutangnya dengan cara menyisihkan dari surplus honor yang diperoleh berbagai kegiatan kunjungan dan lain-lain. Honor itu cukup membantu bagi mereka dalam meringankan beban-beban hutang yang membelitnya.
Tetapi pengaturan sedemikian ketat melalui perpres itu, maka mereka terkendala untuk meringankan beban-beban mereka. Sebagai akibatnya, hal itu justru berpotensi membuka peluang pada tindakan-tindakan yang tidak transparan dan tidak dibenarkan (alias corrupt). Mereka bisa bertindak di luar jalan yang dibenarkan.
Di titik ini, kita bisa melihat secara bijaksana bahwa sejatinya tindakan korupsi itu tidak semata-mata lahir dari watak buruk personal seseorang, tapi juga karena ditekan oleh sistem. Sebab itu, meninjau perpres ini adalah langkah bijaksana untuk melihat jangan-jangan produk yang dihasilkan dari perpres ini justru tidak mendorong pada kebaikan melainkan pada tindakan korupsi.
Ihwal Keadilan
Masalah lain yang patut disoroti adalah ihwal keadilan. Bila pemerintah memang serius untuk menekan pengelolaan keuangan – termasuk mengatur referensi satuan harga penganggaran, mengapa perpres itu hanya diperuntukkan untuk pemerintahan daerah propinsi dan kabupaten? Seharusnya perpres itu juga diberlakukan di tingkat pusat (seluruh kementerian dan lembaga lainnya).
Dengan hanya menerapkan perpres ini pada tingkak pemerintahan daerah propinsi dan kabupaten, rasanya ini sesuatu yang tidak bijaksana. Sekali lagi, perpres ini patut ditinjau kembali.