<

Perilaku Presiden Makin Meresahkan, Memicu Gelombang Protes

JAKARTA – IndonesiaPos

Pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman menilai gelombang petisi para intelektual kampus adalah keprihatinan bersama tentang etika yang makin tergerus.

Gerakan itu tidak terkait dengan politik partisan untuk memenangkan salah satu paslon.”Ya saya pikir, kita tahu bahwa ini bukan lagi persoalan partisan dalam artian politik yang terkait dengan pilihan atau siapa yang dipilih dalam pilpres, tapi adalah persoalan yang dipahami bersama, yang memprihatinkan, ini adalah problem etika republik,” katanya.

Sebelumnya, para akademisi dan intelektual dari beberapa universitas menyatakan sikap dan menyampaikan petisi atas kondisi bangsa. Beberapa di antaranya adalah UGM dan UII.

Airlangga mengungkapkan keprihatinan itu muncul sejak adanya pelanggaran etik pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi pintu majunya putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.

“Di mana kita bisa melihat ada indikasi, mulai di MK, hukum ditempatkan di bawah kekuasaan, dengan digunakan sebagai instrumen bahkan MK,”sambungnya.

Selain itu, sikap dan perilaku Presiden Jokowi juga semakin terang benderang dalam keberpihakan terhadap salah satu paslon. Sampai kemudian intervensi kekuasaan, komentar dari presiden yang tidak menunjukkan sikap negarawan, kelihatan mencla-mencle bahkan memperlihatkan dukungannya.

“Kedua, kita melihat bahwa ada tindakan-tindakan politik yang sepertinya kemungkinan dilakukan oleh presiden untuk memberikan dukungan terhadap paslon, di mana salah satu paslon adalah anaknya sendiri,” tegasnya.

Presiden dinilai hendak menjalankan model politik dinasti bahkan politik monarki. Presiden sedang melakukan aktivitas politik sedemikian rupa menjadikan anaknya sebagai penerusnya.

Padahal Indonesia adalah republik, bukan monarki.Berdasar hal tersebut, para akademisi pun merespons. Mereka bersuara keras atas permasalahan etis.

Kampus Sebagai Pusat Moralitas

“Ini kan sudah wilayah etis di mana kemudian dalam konteks ini maka kampus sebagai kekuatan akademik yang selain mempunyai mimbar akademik yang bebas juga kemudian hendaknya mau bersuara terhadap problem-problem etis yang sudah menyalahi prinsip republik. Sebagai bagian dari intelektual, sebagai bagian dari masyarakat sipil memang ini adalah satu hal yang kemudian memanggil tentang pentingnya etika republik,” sambungnya.

Para akademisi dan kaum intelektual pun menilai ada yang tidak benar dalam penyelenggaraan pemerintahan yang perlu dikoreksi. Itulah kemudian tidak mengherankan kampus-kampus sekarang sudah mulai bergerak. Gerakan itu juga akan meluas.

“Saya pikir karena dunia akademik kemudian juga mulai dari intelektual, gerakan mahasiswa, bahwa ketika kampus sudah mulai bersuara, itu akan beruntun diikuti oleh kampus-kampus yang lain,”tandasnya.

Airlangga berharap suara pengingat dari para akademisi dan intelektual didengar oleh para elite. “Masalahnya ini suara etika, ya semoga masih punya etika. Kalau sudah tidak punya etika ya tidak mendengar,”pungkasnya.

Menyelamatkan Demokrasi

Sementara itu, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati mengatakan, sikap dan kritik para akademisi dan cendikiawan jangan disepelekan. Aksi mereka adalah upaya untuk menyelamatkan demokrasi dan menjaga jalannya Pemilu yang Luber-Jurdil.

“Kondisi ini memperlihatkan bahwa memang indonesia sedang darurat negarawan. Dari pemilu ke pemilu Indonesia melahirkan banyak politik tapi defisit negarawan. Apalagi dihadapkan dengan kondisi saat ini yang sangat terang benderang pemilu 2024 ini dirusak dan dibunuh ada yang dengan cara kasar dan halus.”kata Neni.

Namun tentu masyarakat tidak boleh diam. Salah satu caranya adalah dengan bersuara, melakukan pernyataan sikap.

“Suara dari para cendekiawan dan akademisi seharusnya jangan disepelekan. Pemilu 2024 akan menjadi pertaruhan mau dibawa kemana demokrasi Indonesia,”sebut Neni.

Sikap pemimpin kita tidak lagi menjadi tauladan. Pemilu jauh dari esensi dan demokrasi hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan.

“Demokrasi hanya menjadi topeng untuk mendapatkan legitimasi kemenangan yang diraih dengan menghalalkan segala cara.” imbuh Neni.

Sudah banyak tanda-tanda bahwa Pemilu yang Luber-Jurdil hanya sebuah angan-angan. “Karena upaya untuk melanggengkan kekuasaan lebih kuat dibandingkan dengan memikirkan kepentingan rakyat. Orang yang sedang berkuasa memang sudah hilang urat malu dalam membangun politik dinasti dan sangat serakah,”ungkap Neni.

Pemimpin Yang Berpihak Dan Pandai Bersilat Lidah.

Neni menilai, mereka berkampanye secara terbuka dengan menggunakan seluruh sumberdaya negara mulai dari politisasi bansos, pengerahahan ASN dan aparat desa, abuse of power in election yang sangat rakus dan jika ada yang melawan maka dilakukan intimidasi.

“Jika dibiarkan dan tidak ada yang bersuara maka demokrasi ini akan semakin rusak parah dan kita tinggal menunggu kematian demokrasi yang sudah berada di depan mata,” tegas Neni.

Sebelumnya, sivitas akademisi Universitas Gadjah Mada menyerukan Petisi Bulaksumur. Dengan mengingat dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jati diri UGM, mereka menyampaikan keprihatinan mendalam atas tindakan menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial oleh sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat.

Kemudian sivitas akademisi dari Universitas Islam Indonesia (UII) juga mengeluarkan pernyataan sikap yang berjudul “Indonesia Darurat Kenegarawanan”.

Gerakan dari kampus ke kampus ini kian meluas dan seharusnya menjadi lampu merah bagi penguasa dan pengingat bagi masyarakat, bahwa kita bisa ikut menjaga demokrasi.

Sivitas UGM Ingatkan Jokowi, Agar Kembali ke Koridor Demokrasi

 

 

BERITA TERKINI