JAKARTA, IndonesiaPos
Negara mengalami kerugian Rp500 miliar dalam perkara proyek pembuat dan penandatanganan kontrak satelit komunikasi pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015-2016. Hal ini dikatakan Jampidsus Kejaksaan Agung ( Kejagung ), Febrie Ardiansyah.
“Jadi indikasi kerugian negara yang kita temukan hasil dari diskusi dengan rekan-rekan auditor, ini kita perkirakan uang yang sudah keluar sekitar Rp500 miliar lebih dan ada potensi. Karena kita sedang digugat di arbitrase sebesar 20 juta USD,” kata Febrie saat konpers di Kejagung , Sabtu (15/1/2022).
Dia menjelaskan, nilai Rp500 miliar tersebut diperuntukan untuk membayar biaya sewa Avanti sebesar Rp491 miliar, kemudian untuk biaya konsultan sebesar Rp18,5 miliar. Selanjutnya untuk biaya Arbitrase Navajo senilai Rp4,7 miliar.
“Nah ini yang masih kita sebut potensi ya, karena ini masih berlangsung dan kita melihat bahwa timbulnya kerugian atau pun potensi sebagaimana tadi yang disampaikan di persidangan Arbitrase ini,” jelasnya.
Sebelumnya, Kejagung telah memeriksa 11 orang sebagai saksi atas perkara proyek pembuat dan penandatangan kontrak satelit komunikasi pertahanan Kemhan pada 2015-2016. Kasus ini sendiri sudah naik pada tahap penyidikan.
“Saya sampaikan ada 11 orang yang kita periksa, ada dari pihak swasta murni maupun dari saksi-saksi di Kemenhan. Nah ini baru 11 orang, tetapi tentunya jaksa juga selain dari pemeriksaan ini juga menguatkan dari alat bukti surat ya,” ucap Febrie.
Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan, kejadian ini bermula ketika pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda l telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Dengan demikian, terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), kata Mahfud, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.
Jika tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan bisa digunakan negara lain.
Untuk mengisi kosongnya pengelolaan slot orbit itu, Kemkominfo memenuhi permintaan Kemhan untuk mendapatkan hak pengelolaan. Hal itu bertujuan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication. Kontrak itu diteken pada 6 Desember 2015.
“Persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kemkominfo baru diterbitkan 29 Januari 2016,” ungkap Mahfud, Kamis (13/1/2022).
Seiring berjalannya waktu, Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT itu kepada Kemkominfo. Lalu, pada 10 Desember 2018, Kemkominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda 2 dan Nusantara A1A kepada PT Dini Nusa Kusuma.
Namun demikian, perusahaan itu tak mampu mengatasi permasalahan dalam pengadaan Satkomhan.
“Saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut,” tuturnya.
Mahfud MD menambahkan, dalam upaya membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan beberapa perusahaan lain yang anggaranya juga belum tersedia. Di antaranya, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat.
“Sedangkan di 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan,” tutupnya.