JAKARTA, IndonesiaPos.co.id
Solidaritas Perempuan bersama lembaga aktivis lainnya yang tergabung dalam Solidaritas Bersama menolak segala bentuk kekerassn dalam peristiwa di Surabaya, Malang, Semarang, Manokwari, dan Sorong pada tanggal 15-19 Agustus 2019 Agustus menjadi evaluasi penting bagi negara dalam merespon dan menangani persoalan Papua, termasuk dalam merespon aspirasi serta tuntutan Mahasiswa Papua.
“Solidaritas Perempuan menolak segala bentuk tindakan represif negara melalui penyerangan yang dilakukan terhadap Mahasiswa Papua, termasuk perempuan, yang terjadi di Surabaya, Malang, dan Semarang,” ujar Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Yura, Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Pada Kota Surabaya, diduga telah terjadi tindak penyerbuan, kekerasan, pelemparan gas air mata, pelontaran kata-kata bernada rasis seperti anjing dan monyet, dan ujaran kebencian, termasuk kata-kata intimidatif lainnya. Di Malang, diduga terjadi kekerasan yang dibiarkan oleh aparat keamanan terhadap massa Aliansi Mahasiswa Papua yang sedang melakukan aksi unjuk rasa. Dalam peristiwa ini terjadi tindak kekerasan dalam bentuk pemukulan, tendangan, dan lemparan batu yang disertai dengan berbagai ujaran dengan konotasi rasis.
Sementara di Semarang, diduga terjadi tindak diskriminasi berupa pemasangan secara paksa spanduk bertuliskan Tidak setuju Asrama West Papua digunakan untuk kegiatan yang mengarah pada pemisahan Papua dari NKRI. Pemaksaan pemasangan ini disertai dengan pendataan terhadap seluruh mahasiswa Papua. Peristiwa tersebut di atas diantaranya diduga dilakukan Ormas, Satpol PP, dan anggota TNI.
Sementara itu, anggota Kepolisian melakukan tindakan represif yang tidak proporsional, diantaranya dengan penggunaan gas air mata dan pemukulan saat memasuki asrama mahasiswa Papua di Surabaya, termasuk melakukan penangkapan terhadap 42 orang mahasiswa, termasuk di antaranya 3 orang perempuan. Aparat juga melakukan penyisiran terhadap asrama dan kos-kosan mahasiswa Papua di sejumlah daerah, seperti di Lombok dan Bogor, pada tanggal 19 Agustus. Pada tanggal yang sama, asrama mahasiswa Papua di Makassar juga diserang hingga mengakibatkan bentrok.
Tindakan aparat Kepolisian di atas tidak saja gagal dalam memberikan jaminan perlindungan, namun sebaliknya membenarkan tindakan diskriminasi, intimidatif dan rasisme terhadap mahasiswa Papua. Hal ini juga mencerminkan pendekatan negara yang selama ini represif dan militeristik dalam menyikapi berbagai kasus. Peristiwa Surabaya, Malang dan Semarang akhirnya memicu kekecewaan dan kemarahan yang diwujudkan dalam aksi protes non-kekerasan dari masyarakat Papua, termasuk di Manokwari dan Sorong.
“Hal ini menunjukkan watak negara yang rasis dan diskriminatif, sekaligus pendekatan negara yang represif dan militeristik dalam menyikapi berbagai kasus yang terjadi. Tidak hanya terhadap rakyat Papua, cara-cara negara yang represif dan militeristik juga terjadi di dalam berbagai kasus. Penggusuran, konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan, pembubaran diskusi, persekusi kelompok minoritas dan lain sebagainya dilakukan dengan kekerasan dan intimidasi oleh aparat, bahkan melalui kriminalisasi terhadap rakyat yang berjuang. Berbagai cara dan pendekatan tersebut terbukti telah merampas HAM warga negara, dan menimbulkan dampak berlapis serta menguatnya kekerasan terhadap perempuan,” pungkasnya.
Lembaga Aktivis yang turut serta ada AMAN, AJAR, Asosiasi Seni Kreasi Perempuan, Imparsial, INFID, AII, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta,Greenpeace, JATAM, JSKK, KontraS, KIARA, KPA, LeIP, Perempuan Mahardhika, PUSAKA, PSHK, Purplecode Collective, Solidaritas Perempuan, WALHI, Yayasan Perlindungan Insani, YLBHI, Youth Proactive, Peace Women across The Globe Indonesia, dan VIVAT Indonesia,