Editorial
Unjuk rasa besar-besaran menentang pembangkangan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan UU Pilkada adalah penegasan bahwa rakyat tak mau terus-terusan menoleransi kesewenang-wenangan.
Demonstrasi yang terjadi di mana-mana menunjukkan bahwa kesabaran memang ada batasnya. Rakyat marah lalu melawan.
Itulah yang terjadi hari-hari ini. Bahkan, tak sekadar menyoal kelakuan DPR yang mencoba mengakali RUU Pilkada sehingga di satu sisi ada calon-calon kepala daerah potensial yang terganjal.
Di sisi lain anak Jokowi bisa berkompetisi meski belum cukup umur, Presiden dan keluarganya menjadi sasaran.
Dinasti Jokowi diangkat-angkat lagi, gaya hidup mewah anak dan menantunya pun dikuliti. Kritik, kecaman, hingga umpatan-umpatan kasar kepada keluarga Jokowi membanjiri media sosial.
Akun resmi Presiden Jokowi tak luput dari pelampiasan kegeraman sebagian rakyat.
Fenomena ini menarik. Dulu, Jokowi sangat dicintai. Dulu, Jokowi identik dengan kejujuran dan kesederhanaan.
Tapi kini? Tak cuma orang-orang yang sejak awal memang bukan pendukung, tak sedikit pecinta Jokowi yang berubah menjadi pembenci. Terutama benci pada sepak terjangnya mambangun dinasti kekuasaan.
Jokowi Juga benci karena ternyata anak dan menantunya suka hidup bermewah-mewah di tengah masih banyaknya rakyat yang bersusah payah mempertahankan hidup.
Kecintaan rakyat terhadap Jokowi memang memudar?
Perlawanan rakyat terhadap kekuasaannya yang tinggal dua bulan lagi berakhir?