JAKARTA, IndonesiaPos
Ditemukannya aliran korupsi yang masuk ke partai politik itu sesuatu hal yang sebenarnya sudah “lazim”. Hanya saja, partai politik tidak pernah dikenakan sanksi.
Hal tersebut ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko.
“Partai adalah badan hukum, tapi partai nggak pernah ditangkap. Nggak ada sanksi terhadap partai. Jadi mungkin ini bisa jadi preseden karena satu, korupsinya sampai dengan Rp8 triliun.
“Artinya bahwa dalam hal ini, Kejaksaan Agung harus berani untuk memberikan sanksi kepada partai-partai yang menerima aliran dana korupsi itu,” ungkap Wawan kepada wartawan. Jum’at, (15/12/2023)
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020, sebanyak 36% dari kasus-kasus korupsi yang ditangani lembaga antirasuah itu melibatkan lingkaran partai politik (parpol).
“Sebenarnya hari ini yang paling berkuasa itu lembaga partai politik. Karena belum pernah ada itu tersangka dalam bentuk partai politik. Pasti dia petinggi parpolnya, perseorangannya.
“Dan ini sudah berkali-kali presedennya, nggak hanya sekali. Ini harusnya bisa menjadi perhatian bagi penegak hukum,” kata Wawan.
Wawan menyebut contoh kasus mantan Partai Demokrat, Anas Urbaniningrum pada 2014 yang divonis delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Seperti Anas yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait mega-proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.
“Itu kan sudah jelas aliran dananya ke mana, untuk mencalonkan dia kemenangan kan. Nah ini kita sudah clear. Terus juga Setya Novanto. Itu kan untuk kongres juga kan beberapa. Jadi enggak ada alasan lagi,” tegas Wawan.
Oleh karena itu, Wawan mendesak agar Kejagung dan pihak-pihak lainnya memiliki keberanian memperkarakan partai politik dalam kasus korupsi. Sebab, selama ini, kasus selalu berakhir dengan vonis perseorangan.
“Artinya bahwa dalam hal ini, Kejaksaan Agung harus berani untuk memberikan sanksi kepada partai-partai yang menerima aliran dana korupsi itu,” ungkap Wawan.
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Chairul Huda, tidak yakin Kejagung berani menjerat partai-partai politik yang diindikasikan Mahfud MD.
“Kemungkinannya partai yang untuk dimintai tanggung jawab hukum sendiri atas hal ini kecil. Yang mungkin adalah oknum-oknumnya,” ungkap Chairul.
Ia mengatakan, kalaupun ada partai-partai yang menerima suntikan dana dari korupsi bernilai Rp8 triliun itu, mereka merupakan “partai politik penguasa”.
“Partai-partai politik yang mendukung pemerintahan sekarang. Kalau kejaksaan tidak di-back up oleh publik melalui mulutnya Mahfud, maka Kejaksaan bisa kemudian berjalan tidak sebagaimana mestinya penyelidikannya,” katanya.
Walaupun Mahfud mengeklaim ‘tidak mau ikut campur’ dan akan menyerahkan penyelesaian kasus itu kepada pihak yang berwenang, menurut Chairul Mahfud, itu tanda ia sudah mengintervensi dengan mengeluarkan pernyataan.
“Jadi apa yang disampaikan Mahfud adalah bentuk campur tangan ‘pemerintah’ terhadap penegakan hukum supaya ini berjalan sesuai dengan koridor yang seharusnya,” sebut Chairul.