JEMBER, IndonesiaPos
Usulan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa kepada Menteri Dalam Negeri untuk memecat Faida sebagai Bupati Jember, adalah merupakan babak baru dari pertarungan Khofifah vs Faida
Hal ini dikatakan oleh Agus Harimurti, seorang tokoh seniman Jember, pada Rabu (4/11/2020).
“Ini babak baru Khofifah vs Faida, karena sebelumnya Faida maupun jajaran birokrasi dari Pemkab Jember sudah pernah dipanggil oleh Pemprov Jatim, bahkan juga pernah diundang Mendagri, tapi Faida terkesan sengaja dan tidak ada itikad baik untuk mematuhi berbagai peraturan negara dalam mengelola pemerintahan di kabupaten Jember,”kata pria yang akrab dipanggil Agus Murdoch ini.
Sebagaimana diketahui, Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri, untuk mencopot status jabatan Bupati Jember dari Faida telah beredar di masyarakat.
“Layak kepada Bupati Jember (Sdr. dr. Faida, MMR) untuk dikenakan sanksi berupa pemberhentian sebagai Bupati Jember,” kalimat pada surat Khofifah kepada Mendagri dalam surat dengan register nomor: 739/ 9238/ 060/ 2020 tersebut.
Dasar Khofifah mengusulkan pemecatan Faida adalah hasil pemeriksaan oleh Inspektorat Pemprov Jatim. Kesimpulannya Faida mengingkari sumpah janji jabatan yang diatur pada Pasal 67 huruf b UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sanksi pemecatan terhadap Faida disebut telah sesuai dengan ketentuan berikutnya yang tertuang dalam Pasal 78 ayat (2) huruf d pada beleid yang sama.
Sebab, pemeriksaan inspektorat mengungkap fakta-fakta berbagai ulah Faida yang mengabaikan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala daerah.
Kesalahan Faida sesuai rekomendasi tersebut adalah:
Pertama, ternyata selama 7 bulan Faida tidak pernah menjalankan instruksi Mendagri untuk memulihkan struktur birokrasi Pemkab Jember, terhitung sejak tanggal 11 November 2019.
Kala itu bertepatan dengan perintah Mendagri melalui surat nomor: 700/ 12429/ SJ yang diperjelas lagi oleh Gubernur dengan layang resmi nomor: 131/ 25434/ 011.2/ 2019 tanggal 12 Desember 2019.
Perintahnya adalah mencabut 30 Perbup, 15 SK Bupati, 1 SK demisioner jabatan. Dan pengangkatan pejabat untuk kembali dalam jabatan seperti tanggal 3 Januari 2018 semula.
Faida diyakini tidak beritikad baik dan sengaja membiarkan kondisi struktur birokrasi berikut penempatan pejabat yang ilegal.
Kedua, selama 4 tahun berturut-turut APBD mengalami keterlambatan pengesahan.
Paling parah APBD tahun 2020 tidak terselesaikan kendati sebanyak 5 kali difasilitasi oleh Pemprov hingga tanggal 25 Juni 2020.
Faida tidak memberi keputusan kepada tim anggaran Pemkab yang telah diutus menghadiri rapat di kantor Bakorwil V. Padahal, saat itu DPRD bersedia melanjutkan pembahasan rancangan Perda APBD.
Faida memilih tetap memakai Perbup APBD yang terbatas pemakaian anggaran hanya untuk kebutuhan wajib, mengikat, dan mendesak.
Namun, temuan inspektorat menunjukkan bukti bahwa realisasi anggaran justru menyimpang dari ketentuan.
Diantaranya pencairan bansos beasiswa senilai Rp2,8 miliar pada 15 Mei, dan Rp3 miliar tertanggal 18 Mei 2020.
Pencairan uang negara secara ilegal berlanjut lewat Dinas Pendidikan untuk pembelian komputer senilai Rp201 juta, dan pengadaan alat studio visual yang menelan anggaran Rp116 juta.
Inspektorat menegaskan, Faida menabrak Pasal 107 ayat (2), Pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) PP nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah serta Permendagri nomor 33 tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2020.
Ketiga, pelanggaran Faida bertambah dengan tidak pernah hadir untuk wajib menjawab interpelasi maupun hak angket dari DPRD Jember. Mangkirnya Faida yang disertai melarang pejabat bawahannya hadir ke parlemen disebut menyalahi Pasal 207 ayat (1) dan ayat (2) UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Adapun, Gubernur sebelumnya telah menjatuhkan sanksi kepada Faida dilucuti segala hak keuangan Bupati selama 6 bulan sejak 3 September 2020.
Faida tidak lagi mendapatkan gaji, honorarium, tunjangan jabatan, tunjangan lainnya. Biaya operasional maupun seluruh anggaran yang berasal dari keuangan negara. (*)