Kejaksaan Agung (Kejagung) mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum. Ia lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan. Hanya institusi itu yang dapat menentukan suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan. Ia juga satusatunya institusi pelaksana putusan pidana.
Kedudukan sentral dalam penegakan hukum itulah yang menjadikan Kejaksaan Agung setiap saat berada dalam sorotan masyarakat. Setiap gerak-gerik kejaksaan tidak luput dari perhatian publik.
Kali ini perhatian masyarakat tertuju pada kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung, termasuk ruangan Jaksa Agung ST Burhanuddin, di Jalan Sultan Hasanuddin Dalam Nomor 1, Jakarta. Gedung itu terbakar pada Sabtu (22/8) malam.
- Baca Juga :
Insiden kebakaran itu terjadi saat Kejaksaan Agung menangani kasus besar seperti PT Asuransi Jiwasraya dan pelarian Joko Tjandra beserta dugaan keterlibatan jaksa dalam kasus tersebut.
Dalam kasus Joko, Kejaksaan Agung telah menetapkan dan menahan jaksa Pinangki Sirna Malasari, Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan, yang berkantor di gedung yang terbakar tersebut.
Masih dalam kasus Joko, Kejaksaan Agung juga disorot setelah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar mempertanyakan uang senilai Rp546 miliar yang menjadi barang bukti dalam kasus korupsi hak tagih piutang Bank Bali.
Kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung itu telah menimbulkan spekulasi liar di tengah masyarakat. Ada yang menuding bahwa gedung utama sengaja dibakar untuk menghilangkan jejak kasuskasus besar yang diduga melibatkan bukan orang-orang biasa.
Spekulasi liar itu, mudah-mudahan, bisa diredam penjelasan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang memastikan tidak ada berkas perkara dan alat bukti yang terbakar dalam insiden tersebut.
Penjelasan Jaksa Agung saja belumlah cukup karena ada-ada saja celah untuk meragukannya. Karena itu, dibutuhkan penyelidikan mendalam dari pihak kepolisian terkait dengan kebakaran tersebut.
Selain melalui hasil penyelidikan kepolisian, spekulasi liar bisa diredam dengan kinerja maksimal pihak kejaksaan untuk menuntaskan kasus-kasus besar. Terus terang, kejaksaan memang bergerak cepat mengusut kasus Asuransi Jiwasraya dan pelarian Joko Tjandra. Akan tetapi, pengusutan itu belum menyentuh pihakpihak kuat yang dianggap berada di belakang layar.
Refleksi penting lain dari kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung ialah modernitas dan kecanggihan harus berjalan seiring dengan pencegahan dan perawatan.
Kelemahan terbesar di Indonesia ialah modernitas dan kecanggihan berjalan tanpa imbangan yang memadai dalam aspek pencegahan, pengamanan, dan perawatan. Gedung yang terbakar itu termasuk gedung cagar budaya. Peletakan batu pertama pembangunan gedung tersebut dilakukan Jaksa Agung Gunawan pada 10 November 1961, kemudian diresmikan pada 1968.
Meskipun kebakaran bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja, untuk bangunan sekelas Kejaksaan Agung, kebakaran hebat mestinya harus bisa diantisipasi. Pemeriksaan instalasi secara berkala, baik tatkala padat kegiatan maupun ketika tidak ada acara sekalipun, mutlak dilakukan.
Yang harus dilakukan saat ini ialah mengaudit total seluruh bangunan yang ada di kompleks Kejaksaan Agung, juga gedung-gedung pemerintahan lainnya.
Audit diperlukan untuk mengetahui apakah perencanaan, proses, dan pelaksanaan pemeliharaan gedung sudah berjalan secara benar atau belum. Apalagi, setiap tahun dana pemeliharaan gedung selalu dikucurkan dari APBN. (MI)