IndonesiaPos
Saya menulis kolom berjudul ‘Paruh Waktu Mengurus Negara’ di forum ini beberapa waktu setelah Presiden Jokowi mengangkat sejumlah milenial sebagai staf khususnya. Saya mengkritik diizinkannya para milenial itu rangkap jabatan. Selain menjabat staf khusus presiden, mereka menjabat chief executive officer di perusahaan startup yang mereka bangun.
Ada dua hal yang saya khawatirkan sehingga saya melayangkan kritik itu. Pertama, para milenial staf khusus presiden itu pejabat negara yang mesti mengurus negara, dan mengurus negara itu berat. Mengurus negara pantang ‘disambi’, menjadikannya sekadar pekerjaan sampingan.
Kedua, rangkap jabatan bisa memunculkan konflik kepentingan. Konflik kepentingan itu terjadi. Staf Khusus Andi Taufan Garuda Putra menyurati seluruh camat di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi untuk mendukung program Relawan Desa Lawan Covid-19 yang diinisiasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Andi menyurati camat supaya melibatkan Amartha Mikro Fintek, perusahaan miliknya, dalam program tersebut.
Staf khusus milenial Adamas Belva Syah Devara juga rawan dituding punya konfl ik kepentingan ketika startup Ruangguru miliknya terlibat dalam program kartu prakerja. Ini berbeda dengan Nadiem Makarim, yang bersih dari tuduhan ada konfl ik kepentingan ketika Gojek disebut-sebut diizinkan mengangkut penumpang saat pembatasan sosial berskala besar, karena dia meninggalkan perusahaan transportasi berbasis aplikasi yang didirikannya itu begitu diangkat menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan.
Mungkin karena boleh nyambi, para staf khusus milenial itu kelihatan semringah ketika difoto seusai pengangkatan mereka diumumkan Presiden. Mereka berpose dalam foto tak serupa orang yang mendapat tugas berat. Pose mereka lebih mirip grup K-pop yang akan menggelar konser.
Seorang teman di media sosial mengomentari tulisan saya itu dengan menyebut staf khusus milenial itu sebagai staf khusus milediam. Selama beberapa waktu para staf khusus milenial itu terkesan tak terlihat atau terdengar kiprahnya, diam saja. Sejak Presiden mengangkat mereka, ada yang mengkritik mereka sekadar aksesori, pajangan.
Mungkin karena tak mau terus-menerus disebut aksesori, mereka mulai bekerja dan berbicara, tak lagi diam. Celakanya, sekali bekerja, dua di antaranya, yakni Andi dan Belva, memunculkan dugaan adanya konflik kepentingan. Mungkin orang berpikir lebih baik mereka tetap menjadi staf khusus milediam, staf khusus milenial yang diam, daripada mereka bekerja tapi memunculkan konflik kepentingan.
Apa yang dilakukan Staf Khusus Andi dan Belva masih sebatas perkara etika. Malaadministrasi, kata Ombudsman Indonesia. Akan tetapi, konflik kepentingan sebagai pribadi atau kelompok dengan sebagai pejabat negara merupakan awal praktik korupsi.
Oleh karena itu, sebaiknya para staf khusus milenial mundur dari posisi CEO. Bila untuk menghindari covid-19 kita diminta menjaga jarak sosial dan fisik dengan orang lain, untuk menghindari virus korupsi para staf khusus milenial dianjurkan menjaga jarak dengan perusahaan mereka.
Kekhawatiran terjadinya konflik kepentingan menyebabkan para staf khusus milenial itu tak leluasa bergerak. Bila tak leluasa bergerak, mereka tetap menyandang predikat staf khusus milediam. Bila ingin predikat staf khusus milediam pupus, kalau ingin leluasa bekerja, mereka sebaiknya melepas posisi CEO. Namun, kalau sayang meninggalkan posisi CEO di perusahaan yang mereka bangun dengan cucuran darah, keringat, dan air mata, juga doa kerabat dan tetangga, ajukan saja pengunduran diri kepada Presiden.
Presiden Jokowi mengangkat para staf khusus milenial dengan risiko dikritik kiri-kanan. Janganlah para staf khusus milenial berperilaku yang tidak perlu yang bisa menambah kritik kepada Presiden. Itu bisa merecoki Presiden Jokowi yang sedang fokus memimpin perang melawan covid-19. (Ditulis Oleh :Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group)