SURABAYA, IndonesiaPos
Seorang pemuda bernama Kukuh PA melalui kuasa hukumnya GW Thody dan rekannya mengajukan Praperadilan terhadap Polres Sidoarjo, karena ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan.
Sedangkan kasusnya sendiri berawal dari adanya laporan Polisi di Polres Sidoarjo oleh Raharjo selaku perwakilan perusahaan garam PT UCI pada Kukuh sebagai penjual garam milik PT UCI yang diperoleh melalui UD DJ milik Yohanes Hartanto (Jono) sebagai karyawan PT UCI saat itu.
Kuat dugaan penyidik Polres Sidoarjo telah menyalahi prosedur dalam melakukan penetapan tersangka pada Kukuh, sehingga penetapan TSK diuji keabsahannya melalui Praperadilan di Pengadilan Negeri Sidoarjo yang sidang pertamanya dilakukan dihadapan Hakim Tunggal, Kamis (07/10/2021).
“Awalnya klien kami menjual garam milik PT UCI yang perolehan barangnya melalui saudara Jono (UD DJ),”kata Thody.
“Klien kami sendiri tak pernah bertemu dengan PT Uci, karena selama ini perolehan barang hanya melalui saudara Jono dan bila laku pembayaran langsung di transfer ke rekening perusahaan dan keuntungannya yang diambil klien kami,”tambah Thody.
Dia mengungkapkan, saat saudara Jono dikeluarkan dari PT UCI akhirnya datang perwakilan PT UCI menarik semua barang mereka dan memberitahu pada para langganan agar tak boleh lagi membayar sisa utang garam pada Kukuh.
“Dari sinilah terjadi sengketa piutang antara klien kami dengan PT UCI,”kata Todhy.
Dalam sidang gugatan praperadilan pada Polres Sidoarjo sendiri Todhy mengungkapkan adanya dugaan penyidik saat melakukan penetapan tersangka pada kliennya tidak sesuai proses hukum yang benar.
“Dugaan adanya kesalahan penetapan tersangka pada klien kami diantaranya, seharusnya ini adalah masalah bisnis sehingga tidak dijadikan kasus pidana dan pihak Kepolisian sebagai penegak hukum dalam hal ini penengah seharusnya dapat dulu melakukan Restorative justice (proses mempertemukan kedua belah pihak guna membicarakan masalah yang mungkin dapat diselesaikan tanpa perlu melalui jalur hukum),”ujar Thody.
Selain tak melakukan hal tersebut, kata Thody, pihak penyidik diduga melanggar prosedur, karena klien kami dipanggil sebagai saksi untuk dimintai keterangan pada tanggal 8 Juli 2021, dengan surat tertanggal 30 Juni 2021.
“Pada panggilan kedua surat bertanggal 26 Juli 2021 klien kami kembali diminta menghadap penyidik tanggal 2 Agustus yang akan dimintai keterangan sebagai saksi tetapi anehnya pada tanggal 26 tersebut juga terbit Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan juga dilampirkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri Sidoarjo. Jadi dalam 1 hari diterbitkan 3 surat bersamaan dan hal tersebut dianggap melanggar ketentuan,”terangnya.
Dijelaskan, hasil penyelidikan yang telah ditingkatkan menjadi penyidikan, tambah dia, pada ketentuan peraturan Kapolri pasal 9 ayat (1) nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidik Tindak Pidana wajib dilakukan gelar perkara.
“Sementara kami kuasa hukum dan klien tak mengerti sama sekali kapan gelar perkara itu dilakukan,”tegasnya.
Dengan tak mengurangi rasa hormat terhadap petugas kepolisian, menurut dia, sebelum melakukan praperadilan ini pihaknya telah menyurati penyidik dan jajaran agar melakukan gelar perkara ulang dengan mengundang kliennya dan kuasa hukumnya agar putusan tersangka ini lebih terbuka dan terang benderang.
“Tetapi ternyata pihak penyidik dan jajaran Polres Sidoarjo ternyata tak menggubris permohonan kami sehingga dengan terpaksa kami mempraperadilkan masalah ini agar diuji di depan pengadilan,”pungkas Thody. (hen)