Editorial
Serangkaian pertemuan empat mata Presiden Joko Widodo dengan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dan dua ketua umum partai pengusung Prabowo dalam tiga hari belakangan tidak pelak mengipasi bara isu keberpihakan Jokowi.
Itu karena pertemuan-pertemuan tersebut dilakukan tepat menjelang debat ketiga Pilpres 2024. Setelah bertemu Prabowo pada Jumat (5/1) malam, Jokowi mengajak Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sarapan dan berolahraga bersama, Sabtu pagi.
Kemudian, giliran Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang dijamu makan siang di Istana Bogor, kemarin. Pada malam harinya, digelar debat yang menampilkan para capres yang difasilitasi KPU RI. Orang bisa bilang, pertemuan itu wajar karena Prabowo, Airlangga, dan Zulkifli merupakan menteri-menteri kabinet Jokowi.
Hanya bincang-bincang seorang atasan dengan bawahannya. Apa salahnya? Bila demikian, memang tidak ada yang salah. Akan tetapi, pertanyaannya bukan itu, melainkan benarkah pertemuan tersebut terkait tugas negara, ataukah pembicaraan konsolidasi pemenangan Prabowo.
Mahfud MD selaku Menko Politik, Hukum, dan Keamanan tidak diajak, padahal pembicaraan dengan Zulkifli disebut juga mengenai penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
Begitu pula dengan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, sedangkan pembicaraan dengan Airlangga turut membahas bantuan sosial (bansos).
Tidak jelas apa yang dibicarakan Jokowi dengan Prabowo. Namun, lagi-lagi bila menyangkut ‘tugas negara’, artinya tidak jauh-jauh dari soal pertahanan negara, termasuk pengadaan alutsista. Itu memang ranah tugas Prabowo selaku Menteri Pertahanan.
Baru-baru ini, Kemenhan membatalkan pembelian jet tempur bekas karena fiskal tidak mendukung. Jika itu yang dibicarakan, akan menjadi sangat wajar pada pandangan publik kalau Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diajak makan pula.
Sinyal-sinyal keberpihakan Jokowi kepada Prabowo dalam pilpres sudah hadir sejak pertengahan 2023. Sinyal itu menguat ketika putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres Prabowo. Prosesnya pun dimuluskan oleh cawe-cawe sang paman di Mahkamah Konstitusi.
Sesungguhnya, presiden berpihak itu boleh-boleh saja. Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 281 mempersilakan presiden, seperti juga menteri, untuk ikut berkampanye. Namun, ada syaratnya, harus cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara.
Kita bisa garis bawahi larangan memakai fasilitas negara. Tentu amat sangat tidak etis menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pemenangan pasangan calon dalam segala situasi.
Malah, hal itu bisa masuk kategori korupsi bila bukan merupakan pelanggaran pemilu. Alih-alih tegas menyatakan berpihak dan menjalankan sikapnya itu dengan ikut kampanye, Jokowi berulang kali menyatakan bersikap netral.
Dalam salah satu kesempatan, Jokowi bahkan tegas menyatakan menolak menjadi juru kampanye karena khawatir dianggap cawe-cawe. Lain di bibir, lain di perbuatan.
Walau berkata netral, sikap dan langkah Jokowi telah memberikan sinyal-sinyal keberpihakan kepada pasangan Prabowo-Gibran.
Jokowi memilih bergerak di ruang abu-abu dan membiarkan publik menafsirkan sikap dan langkahnya.
Dampaknya, tensi politik memanas karena menyeruaknya perdebatan-perdebatan tentang keberpihakan presiden.
Publik pun sulit memantau potensi penyalahgunaan fasilitas negara di balik agenda-agenda presiden karena tersamarkan oleh ‘tugas negara’. Disengaja atau tidak, Jokowi sama saja berupaya mengelabui publik.
Ketimbang bolak-balik berucap netral tapi nyatanya berpihak, sekalian saja Pak Presiden menyatakan dukungan, tidak usah main tanda-tanda.
Republik ini tidak akan kehilangan Anda sebagai sosok negarawan yang berpijak di atas kepentingan semua golongan, partai, dan rakyat.