Seandainya saya mau, sejak lama saya bisa saja ekspose bahwa skandal Jiwasraya itu juga terkait langsung dengan SBY. Apa yang disebut almarhum sahabat saya George Aditjondro sebagai Ketamakan Gurita Cikeas. Saya malah merasa aneh, kenapa kasus ini, terlalu lambat dipahami duduk perkaranya. Kasusnya mirip2 Bank Century, terdapat ulah gerombolan “kelas atas” untuk mempermainkan dana publik. Yang ujungnya nanti, pemerintah harus turun tangan memberi talangan. Atas nama “penyelamatan”. Jadi ini permainan maling, yang selalu untung. Untung di depan, untung di belakang. Di depan ikut nggarong, di belakang kebagian jatah. Praktek seperti ini, sesungguhnya bukan pola baru, tapi dapat momentum terbesarnya justru setelah era reformasi bergulir. Dulu hanya meminta rente, jatah preman istilahnya. Tapi bukan merampok kayak gini….
Tiga puluh tahun lalu, saya sempat menulis buku tentang Skandal Bank Bali, merunut jauh hingga ke akar2nya. Tak nyana, barangkali justru (akhirnya) menjadi sejenis buku panduan untuk menggangsir duit2 bagi dana kampanye partai2 berikutnya. Hanya saja, bedanya permainan kelompok SBY dan gank Cikeas-nya lumayan canggih. Sehingga ia bisa bersembunyi, di pojokan paling dingin dan senyap. Harus diakui SBY itu memang pemain catur, ia bisa bersikap bijak menjadi bandar yang baik. Nyaris tak terendus, apalagi tersentuh. Bila pun, bila ada yang harus dikambing-hitamkan adalah kroco2 kelas kambing, yang bisa dikategorikan “tidak dikenal, hingga mudah dikorbankan”. Barangkali, disinilah kenapa memang musuh tebesar bangsa ini akan tetap sama hingga mungkin 30 tahun ke depan: oligraki! Yang bisa dipahami secara singkat sebagai kongsi jahat penguasa-pengusaha. Ya jadi penguasa, ya jadi pengusaha!
Beberapa tahun yang lalu, saya sempat diajak seorang pengusaha batik dari Klaten pergi ke Pacific Place di bilangan Senayan. Hanya sekedar melihat bagaimana produk2 batik dari titik terbawah perajin bergerak ke atas. Dari tidak ada branded-nya, lalu tiba2 berada di gerai sebuah mall ternama dengan harga yang barangkali nyaris sepuluh kali lipat dari harga awalnya. Tak nyana, dari rasa kepo ini saya bisa tahu, bagaimana sebuah brand itu bisa menjadi sebuah tunggangan untuk mengeruk dana yang sebenarnya tak ada kaitan sama sekali dengan core bisnis yang berbau kerakyatan itu. Mana ada pembatik asli terkerek nasibnya jadi orang kaya, juragannya paling juga. Bagaimana “pencitraan” itu menjadi awal dari sebuah operasi garong duit orang lain. Sudah harganya mahal, berlipat mencekik produsen awalnya. Eh, masih digunakan mengeruk dana2 murah (nyaris gratis) untuk kepentingan2 poltik yang gak ada kaitan dengan para perajin aslinya yang hidupnya senin-kemis itu.
Jadi begini ceritanya: Ada perusahaan yang mula2 didirikan tahun 2005 dengan nama Allure yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “alluring” yang berarti menarik atau memikat hati, merek ini kemudian berubah menjadi Alleira untuk kepentingan memasuki pasar internasional. Lisa Kurniawaty Mihardja merupakan pendiri awal merek ini. Bersama dengan Anita Asmaya Vanin, seorang desainer, dan rekan bisnis lainnya, garasi rumahnya menjadi workshop jahit.Entah bagaimana ceritanya, tiba2 muncul Annisa Pohan yang mantu-nya SBY sebagai “duta produk” brand ini. Ia dan anaknya sering muncul dalam banyak peragaan busana kelas atas. Belakangan saya baru tahu, merek ini digunakan sebagai perahu apung keluarga Cikeas melalui Yayasan Batik Indonesia yang dikelola Ani SBY untuk melakukan muhibah pameran di banyak negara.
Lalu tiba2 kenapa muncul nama klan Tjokrosaputro di dalamnya? Yang sesungguhnya adalah keluarga konglomerat Batik Solo yang memiliki brand Batik Keris yang memang lebih dahulu terkenal itu? Nah disinilah oligarkinya… Jawabanya simple: dibanding Allure yang (baru) kemarin sore, tentu Batik Keris lebih punya nama besar, reputasi yang lebih luas, dan jangkauan pasar lebih besar. Sialnya dari batik, keluarga Tjokrosaputro ini kemudian merambah ke bisnis2 lain yang jauh dan tak ada kaitannya dengan core bisnis keluarganya. Disinilah azas saling memanfaatkan dan memperdaya dimulai. Mereka tercatat memiliki perusahaan PT Hanson Internasional yang bisnisnya di bidang properti dan dikomandani oleh Benny Tjokrosaputro. Saudaranya yang lain bernama Dicky Tjokosaputro menjadi direktur PT Power Telecom (PowerTel) yang bergerak di bidang telekomunkasi
Nah kedua perusahaan ini, entah karena salah kelola atau karena terlalu jauh melebar dari bisnis intinya “mbatik” lalu jatuh mengalami kesulitan likuiditas. Antara lain, di kedua perusahaan inilah dana nasabah PT Jiwasraya ditempatkan. Sebagai perusaaan yang dianggap lagi jatuh, lalu karenanya bernilai murah ini. dana Jiwasraya ditempatkan. Dengan harapan akan terjadi rebound, bila bisa dibangkitkan akan untung besar. Yah jelas ngimpi siang bolong, yah hancur, wong sudah terlanjur busuk! Kalau dari sisi administrasi, bisa saja dianggap dengan istilah “kekurang hati2an”. Tapi jelas secara ekonomi-politik itu suatu kesengajaan. Bagaimana BUMN sudah biasa ditempatkan pada posisi tercekik. Karena itulah, bisa dipahami walau kerugian PT Jiwasraya yang sudah dirasakan sejak tahun 2008, tapi mereka adem ayem saja. Dan sebagaimana biasa para direksi-lah yang dikorbankan! Yang sialnya, juga seolah malah ikutan rayahan memperkaya diri itu! Dan agak maju sedikt, direksi2 rekanan usaha itulah yang diseret dianggap bersalah. Dan itulah yang hari ini terjadi….
Menyentuh SBY? Ya gak bakal bisa! Wong kalau pun, dapat ditelusur duit2 yang mengalir itu adalah dana2 politik yang sudah tersalur dalam berbagai yayasan dengan bidang geraknya masing2. Rata2 kalau bukan bidang agama ya sosial. Saya mencatat Yayasan Majelis Dzikir Nurussalam (sial betul yang artinya cahaya keselamatan itu) menjadi motor dari gerakan progresif partai ini membeli suara rakyat. Dari sinilah, konon SBY dan Demokrat memenangkan dirinya, hingga dari sebuah partai yang semula “hanya” punya suara 7%, hingga nyaris menyentuh angka 30%. SBY memang menang telak dalam Pilpres, tapi begitulah hukum alam ia sedemikian cepat dilupakan. Secepat bagaimana ia menghimpun dana2 dari banyak skandal di banyak perusahaan itu Easy come, easy go….
Tentu saja ini belum berakhir, setelah Century, lalu Wisma Atlet di Hambalang. Kemudian PLN dengan puluhan proyek-nya yang mangkrak jadi besi tua. Belum lagi yang jelas2 tapi digelapkan semacam kasus KTP-E yang absurd itu. Termasuk Jiwasraya di dalamnya, Jokowi masih sangat dengan mudah melemparkan kesalahannya ke SBY. Namun sebagian kasus yang lain, saya pikir akan terkubur dan justru terselamatkan, karena yang jadi tukang perah sudah berpindah ke partai lain. Jadi mereka bisa bicara, kami “cuma pernah”, tapi yang benar2 membuatnya mati orang lain. Sebagaimana kita tahu belakangan Rini Sumarno dalam Kabinet Pertama Jokowi, ternyata juga tak lebih “baby sitter” bagi PDI-P. Sedikit saja prestasinya, boroknya sama saja. Skandalnya juga tak kalah memalukan…
Kaitannya dengan saya: itulah alasan buku Orde Los Stang tak tahu rimbanya entah kapan terbit. Saya masih punya banyak celengan kasus sejenis yang menunggu “bukti”, tiba2 saja terungkap ke publik. Kenapa bukan saya saja yang melakukannya. Saya bukan type pencari sensani. Saya tak punya energi yang berlebih2 lagi hanya untuk sekedar buka tutup borok negeri sendiri.
Apalagi saya hari ini tak lebih seorang pekebun dan peternak kelas gurem. Sekedar memenuhi kebutuhan minimal keluarga sendiri. Walau sungguh saya menikmati dari hari ke hari-nya .
Sumber : Status Facebook Andi Setiono Mangoenprasodjo.
。