Polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) telah berakhir dengan pengajuan usulan pemerintah tentang RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP). Melalui pengajuan RUU ini, polemik tentang tafsir Pancasila semestinya usai, diganti penyusunan regulasi pembinaan Pancasila yang proporsional.
Upaya pembinaan ideologi Pancasila sendiri menapaki babak baru, yakni penguatan regulasi terhadap Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang berdiri sejak 28 Februari 2018. Sejauh ini, BPIP hanya berpayung hukum Peraturan Presiden No 7/2018 tentang BPIP.
Ketika berpayung UU, posisi nya lebih kuat, karena tidak hanya menjadi kebijakan eksekutif, tetapi juga disepakati legislatif yang merupakan representasi dari rakyat Indonesia.
Penghidupan kembali pembinaan Pancasila lalu mengalami penyempurnaan, sejak pertama kali dilakukan melalui pendirian Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) berdasarkan Peraturan Presiden No54/2017.
Ketika penulis bertugas di sana, peran unit kerja ini membantu Presiden Jokowi dalam menyusun dua hal. Pertama, Garis-garis Besar Haluan Ideologi Pancasila (GBHIP). Garis besar ini rencananya menjadi pedoman bagi revisi materi pendidikan dan pelatihan Pancasila.
Hingga kini, GBHIP masih disusun BPIP. GBHIP inilah yang sepertinya menjadi tema dalam RUU HIP. Sebab, RUU tersebut ingin merancang haluan dalam berpancasila.
Dalam konsep UKP-PIP, haluan berpancasila ialah haluan pengetahuan yang dibangun melalui prosedur akademik. Bukan haluan hukum dalam bentuk UU. Kedua, Peta Jalan (roadmap) Pembinaan Ideologi Pancasila. Peta jalan ini memuat lima sasaran penguatan Pancasila. Meliputi; pertama penguatan pemahaman terhadap Pancasila.
Kedua, penguatan pelembagaan nilai-nilai Pancasila ke dalam peraturan hukum dan praktik institusional kementerian/lembaga negara. Ketiga, penguatan inklusi sosial di masyarakat. Keempat, penguatan keteladanan Pancasila dalam perilaku penyelenggara negara dan msayarakat. Serta, kelima perwujudan keadilan sosial dalam kebijakan pembangunan.
Dua tugas itu masih tercantum dalam Perpres No 7/2018 tentang BPIP. Sehingga, hal itu masih dikerjakan badan penguatan ideologi bangsa ini. #Dengan demikian, penyusunan RUU BPIP lebih bersifat menaikkan landasan hukum (legal standing) atas proses penguatan Pancasila yang sedang berlangsung.
Tidak menegasi Mengapa dibutuhkan RUU BPIP?
Karena sejak Republik ini berdiri, kita belum memiliki UU penguatan Pancasila. Hal inilah yang membuat upaya penguatan itu mengalami penegasian berbasis kepentingan politik. Di masa Orde Lama, Presiden Soekarno berupaya menguatkan Pancasila melalui beberapa hal. Pertama, pelaksanaan kursus-kursus Pancasila di Istana Negara pada 1958, terlaksana sejak 26 Mei-3 September 1958.
Setiap bulannya di tahun itu, Bung Karno sendiri mengajarkan Pancasila melalui kursus-kursus itu. Menarik karena dalam momen didaktis ini, Sang Penggali menjelaskan Pancasila sebagai kelanjutan dari Pidato Kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945.
Kedua, penyusunan tafsir terhadap Pancasila dalam kerangka Manifesto Politik (Manipol) dan Usdek. Manipol sendiri adalah intisari dari pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959 berjudul, Penemuan Kembali Revolusi Kita yang kemudian ditetapkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai GBHN.
Selanjutnya, Manipol lalu dikukuhkan dalam Penetapan Presiden No.1/1960 dan TAP MPRS No. I/MPRS/1960 tentang GBHN. Adapun Usdek merupakan materi pidato Soekarno pada 17 Agustus 1960 dengan judul Jalannya Revolusi Kita. Manipol-Usdek adalah tafsiran sosialistik atas Pancasila.
Dalam pidato 17 Agustus 1960 itu, Bung Karno menyatakan, “Jika Pancasila kita ibaratkan Alquran, Manipol- Usdek adalah serupa hadis sahihnya. Pancasila dan Manipol-Usdek adalah terjalin satu sama lain.” (TUBAPI, 1961).
Ketiga, melalui peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni, yang mulai dilakukan pada 1964. Peringatan 1 Juni ini didorong kemarahan Bung Karno atas pidato Ketua PKI, DN Aidit pada Mei 1964 yang menyatakan, “Saat ini Pancasila masih dibutuhkan untuk mencapai persatuan nasional. Namun, ketika persatuan telah tercapai, Pancasila tidak dibutuhkan lagi.”
Mendengar pernyataan tersebut, Bung Karno lalu menetapkan peringatan Harlah Pancasila setiap 1 Juni yang berlangsung hingga awal pemerintahan Orde Baru (Isnaeni, 2020). Keempat, melalui pendirian Panitia Pembina Jiwa Revolusi yang bertugas melaksanakan indoktrinasi Pancasila.
Ketika rezim berganti, semua program penguatan Pancasila itu dihapus. Orde Baru lalu menegasikan pemikiran dan praktik pembinaan era Soekarno. Maka terbitlah MPRS No. XIX/MPRS/1966 yang meninjau kembali seluruh produk legislatif dan Peraturan Presiden Soekarno dalam rangka pemurnian pelaksanaan UUD 1945. Terbit pula TAP MPRS No. XXVI/ MPRS/1966 yang meneliti semua ajaran Bung Karno, untuk dinegasikan.
Puncak dari proses desoekarnoisasi ini terjadi ketika Orba menetapkan Muhammad Yamin (berpidato pada 29 Mei 1945) dan Soepomo (berpidato pada 31 Mei 1945) sebagai penggagas nilainilai Pancasila, beberapa hari sebelum pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Dari sini peringatan 1 Juni sebagai Harlah Pancasila lalu dihapus sejak tahun 1970. Era Reformasi lalu lahir sebagai negasi atas Orde Baru. Oleh karenanya, semua pandangan dan praktik penguatan Pancasila era Pak Harto pun dihapus. Melalui TAP MPR No.XVIII/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan P-4 (BP-7) dibubarkan, serta mata pelajaran dan kuliah Pancasila dihapus dari kurikulum.
Trauma atas rezim membuat bangsa ini fobia terhadap ideologinya sendiri. Belajar dari proses saling menegasikan di atas, RUU BPIP sangat urgen disusun agar regulasi penguatan Pancasila tidak bersifat relatif.
Sebab, jika berpayung UU, kekuatan pendorongnya tidak hanya lahir dari kebijakan Presiden, yang bisa saling menegasikan.
Sebagai perawatan atas dasar negara, sudah semestinya penguatan Pancasila menjadi keprihatinan bersama seluruh elemen bangsa. #Mengingat, lemahnya etos kebangsaan masyarakat kita akibat absennya penguatan Pancasila sejak awal era Reformasi.
Ditulis Oleh : Syaiful Arif Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018)