<

Tokoh Jadi Aktor Provokator, Bukan Menjadi Teladan

IndonesiaPos

Berekpresi, berbeda sikap, menyampaikan aspirasi dan pendapat, serta berunjuk rasa untuk mendukung atau menolak suatu kebijakan merupakan hak konstitusional yang sepenuhnya dijamin dan diatur oleh undang-undang.

Dengan jaminan itu, setiap warga negara boleh ber unjuk rasa di mana pun, ka pan pun, dan dalam bentuk apa pun, sejauh hal itu tidak melanggar batas ketentuan dan aturan yang berlaku. Semua warga negara diyakini memahami benar batas-batas tersebut, baik yang tertulis maupun tidak.

Faktanya, banyak kasus unjuk rasa kerap melewati batas-batas tersebut. Unjuk rasa menolak lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), kita khawatirkan termasuk bentuk penyampaian ekspresi semacam itu. Dalam tiga hari terakhir, unjuk rasa penolakan UU Ciptaker marak di sejumlah wilayah. Palu, Pa lembang, Bandung, Bogor, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Semarang, dan sejumlah lokasi lain. Akibat aksi tersebut, banyak fasilitas publik rusak. Di Ibu Kota, 18 halte bus Trans-Jakarta dan pos polisi hancur.

Puluhan pengunjuk rasa dan apa rat keamanan pun cedera. Kita mengecam aksi kerusuhan tersebut. Apalagi, aksi anarkistis itu dinyatakan bukan spontan, melainkan bentuk pengerahan massa yang disponsori pihak tertentu untuk membuat rusuh saat demo penolakan UU Ciptaker.

Di Jakarta, misalnya, Polda Metro Jaya menyatakan telah mengamankan ribuan orang yang diduga akan melakukan kerusuhan saat unjuk rasa. Mereka bergerak karena diundang pihak tertentu melalui media sosial untuk berbuat kerusakan.

Bukan hanya disponsori, aksi itu diduga juga diprovokasi tokoh-tokoh tertentu. Sejumlah pejabat pemerintah pun secara eksplisit menyatakan hal itu melalui berbagai pernyataan yang menyebut bahwa pemerintah sudah mengetahui aktor intelektual di balik aksi anarkistis tersebut. Kita pun sependapat dengan pernyataan bahwa tindakan mensponsori dan memprovokasi sehingga massa terpicu untuk merusak fasilitas umum serta melakukan serangan secara fisik terhadap aparat dan warga merupakan tindakan tidak sensitif. Tidak sensitif, karena saat ini rakyat tengah berada di masa sulit.

Rakyat bersama pemerintah tengah sulit berjuang melawan pandemi covid-19 dan resesi ekonomi. Namun, alih-alih membantu memulihkan ekonomi dan mencegah penularan virus, sponsor dan provokator justru memperburuk keadaan dengan menambah panas dan berat persoalan. Kita menyesalkan perilaku mereka. Di satu sisi mereka kerap menyebut diri sebagai tokoh, tetapi di sisi lain perilaku mereka tidak mencerminkan hal itu.

Mereka pun tidak memberikan teladan yang baik di masyarakat. Kita sejatinya masih berharap tokoh-tokoh ini berubah sikap dengan berperilaku seperti negarawan.

Sudah sepatutnya mereka memberikan contoh yang baik, mengedepankan kepentingan bangsa dan negara terlebih dahulu alih-alih mementingkan ego pribadi dan kepenting an kelompok. Menjadi tanggung jawab mereka, para tokoh, untuk menyadarkan masyarakat, mengajak warga agar berpikir cerdas, tidak cepat memercayai berita palsu alias hoaks, dan tidak menyebar-nyebarkan teori konspirasi.

Jika perilaku memprovokasi dan mensponsori semacam itu terus saja dilakukan, mereka tidak boleh ditoleransi dan dibiarkan. Karena itu, sudah benar pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD, Kamis (8/10) malam, yang menegaskan bahwa pemerintah akan menindak tegas aksi anarkistis yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.

Kita pun mendorong agar bukan hanya pelaku aksi anarkistis di lapangan yang ditindak tegas. Aktor intelektual di balik itu juga harus dimintai pertanggungjawaban hukum, siapa pun dia dan apa pun latar belakang, kedudukan, serta jabatan sebelumya. Tindak tegas dan proses hukum tanpa pandang bulu! (ditulis MI)


BERITA TERKINI