JAKARTA, IndonesiaPos – Direktur Jenderal (Dirjend) Tenaga Kesehatan, Kementerian Kesehatan Arianti Anaya mengungkapkan disparitas pemenuhan dokter spesialis masih terjadi di seluruh Indonesia.
Akibatnya, dengan perhitungan target rasio 0,28: 1.000 maka saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 30 ribu dokter spesialis.
Hal ini ditegaskannya pada Webinar Urgensi Pendidikan Terintegrasi untuk Pemerataan Pelayanan Kesehatan yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
“Kita membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk memenuhi jumlah dokter spesialis tersebut dengan asumsi jumlah penyelenggara prodi dokter spesialis sebanyak 21 dari 92 fakultas kedokteran dengan menghasilkan lulusan spesialis sekitar 2.700 tiap tahun,” papar Arianti. Senin, (10/4/20230
Selain kekurangan jumlah dokter spesialis, lanjut dia, saat ini persebarannya pun belum merata karena 59% masih berada di Pulau Jawa.
Sementara wilayah Indonesia bagian timur jumlah dokter spesialis masih terbatas.
Pakar kesehatan dari Fakultas Kedokteran UI Prof Herkutanto, menilai sulitnya seleksi dan proses Program Pendidikan Dokter Spesialis juga menjadi hambatan bagi dokter yang ingin meneruskan pendidikannya.
BACA JUGA :
- Anggota Koramil Tlanakan Dampingi Bidan Lakukan Imunisasi
- Jokowi Bersama Ganjar Semobil, Saat Berkunjung ke Boyolali
- Kata Mahfud MD, di Kemenkeu Tak Ada Perbedaan Soal Data Transaksi Rp349 Triliun
- Jelang Mudik Lebaran, Sonny TD Minta PT Pelindo dan Jasa Marga Tingkatkan Layanan
“Negara harus bisa melihat pentingnya dokter spesialis saat ini bagi masyarakat. Sama halnya dengan produksi tenaga militer, perlu ada penanganan berbeda dibandingkan pendidikan lain karena ini terkait langsung dengan keselamatan masyarakat dan bangsa,” tutur Herkutanto.
Sementara Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia, Setyo Widi Nugroho menyebutkan untuk bisa mendorong produksi tenaga medis bukan perkara mudah karena bagaimanapun terdapat proses panjang untuk menghasilkan tenaga medis yang berkualitas. Adanya peningkatan produksi, tentu tidak mengesampingkan aspek kredibilitas.
“Kami terinspirasi dari Health Education of England (HEE), bahwa untuk melakukan suatu produksi, kita harus meyakinkan bahwa jumlah tenaga kerja harus tepat jumlahnya, tepat keterampilannya, dan memberikan pelayanan yang baik, serta mampu beradaptasi dengan teknologi,”pungkasnya.