<

 Kasus Dugaan Pemerasan Oleh Pimpinan KPK Mulai Ditingkatkan ke Penyidikan

Firli Bahuri dengan Syahrul Yasin Limpo

JAKARTA, IndonesiaPos

Kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dan kasus dugaan pemerasan yang dilaporkan dilakukan oleh pimpinan KPK harus diproses secara simultan. Sebab, kasus-kasus ini akan menjadi pertaruhan penting kredibilitas kelembagaan KPK.

Saat ini KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan), tetapi belum ada pengumuman resmi mengenai tersangka yang terlibat.

Di tengah penyidikan itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengajukan pengunduran diri sebagai menteri.

Pada saat bersamaan, Polda Metro Jaya juga menyidik kasus pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK saat penanganan perkara di Kementan.

Penanganan kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementan beredar foto Ketua KPK Firli Bahuri dan Syahrul bertemu di lapangan tertutup dengan tembok berwarna hijau dan tempat duduk panjang yang berbahan keramik.

Firli tampak mengenakan baju olahraga lengkap dengan celana pendek dan sepatu olahraga. Ia berhadap-hadapan dengan Syahrul yang mengenakan kemeja dan celana panjang.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak menyebut kasus dugaan pemerasan sudah naik ke tahap penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan bukti tindak pidana dan tersangka.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, menuturkan, ia tidak bisa mengomentari sesuatu yang tidak diketahuinya. Namun, ia mendukung apa yang tengah berproses di Polda Metro Jaya.

”Teman-teman di sana punya alasan melakukannya,” kata Nawawi. Sabtu (7/10/2023).

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) M Nur Ramadhan, mengatakan, dugaan korupsi di Kementan memang wajib diusut KPK. Namun, di tengah penyidikan, pimpinan KPK malah diduga memeras terduga ataupun tersangka yang beperkara. Hal ini mencederai kredibilitas KPK sebagai lembaga antirasuah.

”Kedua kasus itu bisa berdiri sendiri. Proses hukum yang berlaku harus secara simultan atau beriringan. Apalagi, dugaan pemerasan itu mengindikasikan KPK bermain-main saat mengusut perkara. Ini juga harus segera diusut,”ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (8/10/2023).

Menurut dia, pemerasan itu menunjukkan adanya interaksi baik secara langsung maupun tak langsung oleh KPK terhadap pihak beperkara.

Menurut Nur, kalau pemerasan itu benar terjadi saat pertemuan langsung, harus menjadi perhatian serius. Sehingga, dugaan terlibatnya pimpinan KPK, pihak-pihak terkait perlu mundur dari jabatannya. Sebab, penyidikan yang berlangsung di KPK dan Polda Metro Jaya memungkinkan terjadinya konflik kepentingan.

”Saya kira kalau pimpinan KPK mau mundur, itu jauh lebih baik. Sebab, ini sudah menyangkut kredibilitas penegakan dan pemberantasan korupsi. Kalau tidak, akan banyak hal yang sulit untuk diperiksa,” tuturnya.

Nur berharap, kepolisian bisa menyelesaikan proses hukum terkait dugaan kasus pemerasan meski berjalan beriringan dengan kasus korupsi di Kementan.

Sebab, ujung cerita kasus pemerasan akan memengaruhi kredibilitas dari proses hukum kasus korupsi di Kementan.

Dilain pihak Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, berpandangan, jargon penegakan hukum yang melekat pada KPK kini telah luntur, terlepas dari benar atau salah pemerasan tersebut. Karena itu, penyidikan kasus pemerasan harus segera diselesaikan agar KPK bisa memulihkan kembali citranya.

”Kalau bisa penyidik kepolisian itu agak cepat memproses (kasus pemerasan). Sebab, sebentar lagi juga akan masuk suasana politik yang erat akan citra politisasi,”katanya.

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia Boyamin Saiman menilai, penyelesaian kasus pemerasan dan korupsi harus secara cepat dan diprioritaskan.

Hal ini agar kedua kasus menemui titik terang dan segera masuk ke pengadilan. Dengan demikian, kompromi antarpihak yang terlibat bisa dihindari.

Di sisi lain, Dewan Pengawas KPK bisa turut menjemput bola untuk memeriksa kasus pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK dalam bentuk pelanggaran kode etik.

Mereka bisa bekerja sama dan berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya dalam proses hukumnya.

 

BERITA TERKINI