JAKARTA – IndonesiaPos
Direktur Puskapol FISIP UI, Hurriyah menilai aksi petisi dan pernyataan sikap dari para guru besar, dosen, civitas academica adalah aksi yang dilandasi keprihatinan bersama.
“Ini kan sebenarnya mencerminkan betapa keresahan publik soal partisanship, netralitas para pejabat publik khususnya Presiden RI itu sudah semakin tidak bisa ditolerir lagi, semakin menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi, prinsip-prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Termasuk juga soal etika politik yang semakin ditabrak oleh politisi demi kepentingan politik elektoral,”terangnya di Jakarta, Senin kemarin.
Hurriyah mengungkapkan pernyataan keprihatinan itu semuanya disusun oleh para guru besar dengan melewati proses dialog, kesepakatan bersama.
Beragam petisi dan pernyataan sikap yang belakangan terjadi dari para civitas academica, akademisi, guru besar, dosen, dan kalangan kampus adalah suara tanpa kepentingan yang menjadi kekuatan moral masyarakat.”Titik kulminasi dari semua kelompok masyarakat. Peran para guru besar adalah moral force, kekuatan moral masyarakat,” sambungnya.
Selain itu, gerakan moral itu juga terjadi secara organik. “Gerakan ini menurut saya organik. Karena ini kan diikuti, dari satu kampus kemudian kampus lain. Karena mereka semua merasakan keresahan yang sama,” terusnya.
Oleh sebab itu, gerakan ini diprediksi akan semakin meluas. Karena publik sadar, pemilu kali ini adalah penentuan arah bangsa.
“Menurut saya, ada kemungkinan isu ini terus bergulir sebagai alarm tanda bahaya, karena memang Pemilu 2024 merupakan pemilu yang memposisikan Indonesia di titik persimpangan. Apakah kita masih bisa lanjut menjadi negara demokrasi? atau kita justru mengalami kemunduran, setback, balik ke otoritarianisme,”tegasnya.
Hurriyah menyayangkan sikap pemerintah. Menurutnya pemerintah patutnya mau mengoreksi dan bercermin. Masih ada waktu bagi pemerintah, Istana, untuk mengoreksi kesalahan, kekeliruan yang sudah mereka lakukan. “Jangan kalau ada kritik itu dilemahkan,” tegasnya.
Hurriyah juga menyebut sebaiknya Presiden Joko Widodo legawa untuk meminta maaf pada seluruh rakyat Indonesia.
“Pertama, Presiden Jokowi harus meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia akibat pro-kontra masalah yang ditimbulkan. Dan menghentikan manuver-manuver yang dilakukan untuk ikut cawe-cawe dalam pemilu,” pungkasnya.
Kampus Sebagai Pusat Moralitas
Sementara itu, Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto menegaskan bahwa motif akademisi menyuarakan kegelisahan mereka tentang politik dan demokrasi hari ini adalah murni sebagai bentuk keprihatinan akan situasi politik dan demokrasi sekarang ini.
“Saya percaya bahwa kampus itu kan pusat perubahan dan pusat moralitas bangsa, karena kami di kampus dididik untuk bicara berdasarkan kebenaran, bukan berdasarkan kepentingan atau interest tertentu,” kata Agus.
Jika hari-hari ini, kampus bersuara dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai macam kegiatan menyatakan pendapat dalam situasi kondisi politik hari ini, menurut Agus masih dalam koridor akademik.
“Untuk mengingatkan kepada bangsa untuk hati hati dalam menjalankan proses pemilu karena boleh jadi pemilu ini akan membuat setback, karena ada dugaan keterlibatan secara sistemik dari kekuasaan untuk memenangkan salah satu paslon,”imbuh Agus.
Kegelisahan
Kegelisahan civitas akademica, mulai dari mahasiswa sampai ke guru besar, akan semakin merebak jika situasinya tidak berubah.
“Ruang-ruang akademisi hanya bersuara karena tidak berada dalam rumpun kekuasaan. Kegelisahan akan situasi politik hari ini, dalam konteks pemilu yang kemungkinan besar tidak jujur dan adil,“sebut Agus.
Jika akademisi sampai ‘turun gunung’, itu tandanya pemilu kita benar-benar bermasalah. “Tugas mereka kan mengajar, meneliti dan melakukan pengabdian, tetapi kalau ada seperti ini berarti genting. perlu dikritisi,”ujar Agus.
Kegentingan ini menjadi perhatian masyarakat untuk berhati-hati, pemilu tidak mudah digiring opini orang yang menyokong salah satu dengan cara cara yang tidak benar. Pesta demokrasi, Pemilu, Pilpres dan Pileg, memberikan suara dengan mendengarkan hati nurani.
“Mengajarkan dan mengingatkan publik untuk hati-hati juga dalam ikut serta datang ke TPS dalam pemungutan suara, untuk lebih memilih berdasarkan kepada hati nurani, berani menolak uang, menolak intervensi dari penguasa dan intimidasi dari kelompok tertentu, sehingga mereka memilih dengan hati nurani,”tegas Agus.
Sebelumnya, menanggapi berbagai seruan sikap akademisi tentang kondisi politik, pemilu dan demokrasi hari ini, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menyatakan Presiden Joko Widodo menghormati hak setiap orang untuk berpendapat.
Kendati demikian, Ari menduga ada strategi politik partisan untuk kepentingan elektoral di tengah pertarungan opini di tahun pemilu.
“Kita cermati di tahun politik, jelang pemilu pasti munculkan sebuah pertarungan opini, penggiringan opini. Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang juga wajar aja. Apalagi kaitannya dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral,”kata Ari pekan lalu.