Editorial
Pemberitaan tahun 2021 diwarnai dengan pemerintah China dilaporkan melakukan protes terhadap pemerintah Indonesia. Pemerintah China protes agar Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran migas di Kawasan Laut China Selatan dan latihan militer Garuda Shield.
Negeri Tirai Bambu meminta RI untuk menyetop operasi pengeboran minyak dan gas di Natuna, Laut China Selatan (LCS).
Diketahui Indonesia melakukan pengeboran eksplorasi di dekat pulau-pulau Natuna, yang terletak di dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia sejak Juli lalu.
Protes tersebut diyakini terkait cadangan minyak di wilayah kerja (WK) Blok Tuna, berada di lepas pantai Natuna Timur, tepat di perbatasan Indonesia-Vietnam.
Surat protes tersebut dimuat dalam pemberitaan Reuters pada Rabu (1/12/2021).
Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan, memberikan pernataan pada akhir November lalu. Kalau ada surat protes yang dilayangkan dengan nada sedikit mengamcam.
BACA JUGA :
- China Protes Soal Pengeboran Migas di Natuna Utara, Ini Penjelasan Pakar Hukum Internasional
- China Kembali Berulah, Minta Indonesia Hentikan Pengeboran Minta di Pulau Natuna
- Laut Natuna Kembali Memanas, Indonesia Tolak Negoisasi Dengan China
Hal itu dikarenakan sebagai upaya pertama diplomat China untuk mendorong agenda sembilan garis putus-putus mereka terhadap hak-hak kami di bawah Hukum Laut.
Farhan kemudian menegaskan bahwa Indonesia tidak akan tunduk dengan hal itu. Pasalnya wilayah pengeboran itu secara sah merupakan hak milik Republik Indonesia.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut United Nations Convention on the Law of the Sea (NCLOS) tahun 1982 sudah memberi hak berdaulat kepada Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk migas yang berada di bawah ZEE Indonesia, dan tidak boleh diganggu oleh negara lain termasuk China.
Natuna adalah sebuah kabupaten yang terdiri dari ribuan pulau terletak di ujung utara Indonesia dengan jarak lebih dari 1.250 km dari Jakarta.
Kepulauan Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik bahkan di Dunia. Di dalam perut buminya juga bergelimang minyak.
Tak hanya itu, di kepulauan yang terletak di teras depan Negara Indonesia ini menghampar aneka jenis terumbu karang yang sangat memukau. Dimana kita bisa menemukan berbagai material tambang seperti gas alam, minyak bumi, dan pasir kuarsa dalam jumlah besar? Jawabnya, Kepulauan Natuna. Kekayaan mineral tambang tersebut bukan hanya terhampar di darat, tetapi juga tersebar bertaburan di bawah dasar laut.
Menurut hitungan pemerintah, Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik Hal ini merujuk pada salah satu ladang gas yang terletak 225 kilometer (km) sebelah utara Natuna.
Di sini tersimpan cadangan gas alam dengan volume sebesar 222 triliun kaki kubik (TCT). Selain itu, gas hidrokarbon yang bisa ditambang mencapai 46 TCT. Angka itu tentu saja belum termasuk cadangan gas alam yang terdapat di bagian barat Natuna yang dikelola juragan minyak raksasa kelas dunia.
Bukan hanya berjaya di sektor gas alam. Natuna juga diselimuti minyak bumi yang seolah tiada pernah ada habisnya. Sumur-sumur off shore yang berada di bagian timur Natuna itu terus memancarkan minyaknya.
Jadi, wajar saja kalau sektor migas di Kabupaten Natuna ini menjadi penyumbang terbesar bagi perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Migas yang berasal dari pelapukan fosil binatang laut selama jutaan tahun silam itu memberi kontribusi sekitar 10,11 persen dari perekonomian Kepri. Sehingga, pendapatan dari penambangan migas di seluruh sumur eksplorasi di Natuna sangatlah menggiurkan.
Pada tahun 2007 misalnya, nilainya mencapai 21,8 triliun rupiah. Betapa makmur dan sejahteranya bila semua hasil eksplorasi ini dinikmati sepenuhnya oleh bangsa Indonesia.
Sayangnya, sebagian besar hasil eksplorasi tersebut dikuasai oleh perusahaan swasta asing. Maklum, baik modal, tenaga ahli, maupun peralatan hampir seluruhnya disuplai oleh Exxon Mobil, Conoco Philips, Star Energy, dan Primer Oil.
Praktis, pembagian keuntungan dari bisnis tersebut sebagian besar dinikmati oleh mereka. Sedangkan Indonesia sebagai pemilik kekayaan alam tersebut hanya mendapat sedikit keuntungan.
Bayangkan, dari total pendapatan yang mencapai puluhan triliun rupiah itu, Kabupaten Natuna hanya kecipratan Rp 225 miliar. Sementara itu, pemerintah pusat kebagian sekitar Rp 525 miliar. Sedangkan triliunan rupiah lainnya menjadi hak milik perusahaan asing alias menguap ke negara lain.
Namun, Presiden Joko Widodo, dalam wawancaranya dengan Surat Kabar Jepang, Yomiuri Shimbun, mengkritik pemerintah China yang memasukkan Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau sebagai bagian wilayahnya. Jokowi menilai China perlu hati-hati menentukan peta perbatasan lautnya.
“Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun,” kata presiden.
Tindakan klaim China di daerah Laut China Selatan sudah terjadi sejak lama. Konflik di daerah tersebut bahkan melibatkan 6 negara, yakni Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, China dan Taiwan. Setiap negara berusaha mematok landas kontinen masing-masing, mengingat di perairan itu kaya sumber daya alam. (IP*)