<

Kebobrokan Bea Cukai Mulai Terungkap

Editorial IndonesiaPos

Kebobrokan di lingkup kerja Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terungkap secuil demi secuil. Kasus kekayaan tidak wajar sejumlah pegawai Ditjen Pajak yang kemudian merembet ke pejabat Ditjen Bea dan Cukai belum tuntas serta masih berproses di KPK. Belakangan praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan Bea dan Cukai pun mulai terungkap.

Masyarakat melalui media sosial mengungkapkan unek-unek berurusan dengan bea cukai. Ada yang merasa kesal karena harus membayar jutaan rupiah ketika mengirimkan piala hasil menang kompetisi di luar negeri.

Putri sulung Presiden Ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid, Alissa Wahid, turut mengalami perlakuan tidak mengenakkan sepulangnya dari menghadiri konferensi di Taiwan.

Perlakuan itu disebut sebagai cerminan tabiat buruk petugas di bandara yang masih kerap diterima pekerja migran.

Namun, aduan yang paling membuat dahi mengernyit ialah dugaan penyelewengan aturan international mobile equipment identity (IMEI).

Akun media sosial yang mengatasnamakan Insan Milenial Bea Cukai membeberkan korupsi dengan memanipulasi data atau jenis ponsel dilakukan secara masif oleh petugas Bea dan Cukai di bandara.

Manipulasi data tersebut bertujuan pemilik ponsel terhindar dari bea masuk yang dikenai hingga US$500 atau sekitar Rp7,5 juta.

Petugas memungut Rp800 ribu hingga Rp1 juta per unit ponsel sebagai imbalan.

Perbuatan lancung itu disebut diketahui para pejabat eselon III dan IV, bahkan dikoordinasikan hingga ke eselon II.

Seksi Kepatuhan Internal Bea Cukai bergerak cepat menelusuri dugaan penyelewengan itu.

Hasilnya, dari 25 pegawai yang diperiksa, 21 direkomendasikan mendapat hukuman ringan-berat. Tidak jelas siapa saja yang mendapat sanksi dan apa bentuk sanksi masing-masing.

Lalu, apa iya seluruh Indonesia hanya 21 orang yang terlibat?

Gerak cepat penanganan itu malah terkesan sebagai langkah untuk buru-buru mengubur kasus penyelewengan yang sebetulnya sudah masuk ranah pidana korupsi.

Sanksi yang dijatuhkan tidak tegas sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Bukan hanya sanksi lembek, melainkan juga pembungkaman terhadap para pelapor atau whistle blower turut memperlemah daya gedor pemberantasan korupsi.

Dalam perkara IMEI ponsel, KPK sempat mengingatkan Bea dan Cukai agar tidak malah memburu Insan Milenial. Mereka justru patut dilindungi karena berani membantu mengungkap praktik korupsi.

BACA JUGA :

Kasus-kasus penyelewengan dan pungli yang terkuak patut diduga hanya puncak dari gunung es. Permasalahan di Ditjen Bea dan Cukai, juga di unit kerja Kemenkeu lain, utamanya Ditjen Pajak, tentu tidak hanya melibatkan segelintir nama pegawai yang belakangan menjadi sorotan.

Karena itu, perlu langkah berani dan radikal untuk membersihkan institusi tersebut dari para pencoleng. Mumpung pada saat yang sama, polemik terkait dengan transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun di Kemenkeu juga tengah dalam proses penuntasan setelah Menko Polhukam Mahfud MD berjanji bakal buka-bukaan di depan parlemen, besok.

Langkah menuju proses hukum harus tetap berjalan karena tidak semua hal bisa diselesaikan lewat politik. Namun, paralel dengan itu, mengingat persoalan di Bea dan Cukai ialah kasus yang sangat sistemis, pembenahan institusi juga mesti menjadi prioritas.

Sangat menarik ketika muncul usul untuk memakai lagi cara keras seperti yang pernah ditempuh Presiden Soeharto ketika sudah teramat gerah dengan pungli yang begitu marak.

Kala itu, Bea dan Cukai terkenal sebagai institusi pungli. Untuk itu, Pak Harto membekukan sementara dan mengalihkan kewenangan mereka ke swasta.

Cara itu kiranya relevan dalam konteks kebobrokan mereka sekarang ini. Pembekuan boleh jadi satu-satunya opsi bila pemerintah serius ingin menyapu bersih benalu-benalu di tubuh instansi.

Sekali lagi, pembenahan tidak dapat lagi dengan cara biasa, tidak bisa setengah hati. (Ditulis Oleh : MI)

 

 

 

BERITA TERKINI