<

 Kejagung Pertaruhkan Didalam Kasus Sritex

Editorial IndonesiaPos

Sudah jatuh tertimpa tangga, masih lagi tertabrak mobil. Begitu sekilas yang terkesan dari penetapan Direktur Utama PT Sritex periode 2018-2023 Iwan Setiawan Lukminto sebagai tersangka kasus pidana dugaan korupsi fasilitas kredit untuk PT Sritex dari Bank DKI dan Bank BJB.

Iwan dihadirkan di Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan rompi pink dan ditahan hingga 20 hari ke depan. Bersamanya, ditahan juga Direktur Utama Bank DKI tahun 2020 Zainuddin Mappa dan Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata. Total kerugian negara, kata Kejagung, mencapai Rp692 miliar, sesuai besaran kredit dari kedua bank itu.

Namun, berbeda dari kasus-kasus korupsi lainnya, pemidanaan bos Sritex itu tidak sepenuhnya mendapat sambutan positif dari publik. Sebagian menilai kasus itu lebih tepat menjadi perkara perdata.

Dimasukkannya kasus kredit macet menjadi tindak pidana dianggap menambah sinyal buruk bagi iklim berbisnis di Indonesia. Kejatuhan Sritex, setelah 58 tahun menjadi raksasa garmen, sudah membuat industri tekstil Indonesia berpotensi kehilangan kepercayaan dari investor.

Tentu saja, kekhawatiran pada dampak iklim investasi tidak boleh membiaskan penilaian terhadap kasus fasilitas kredit ini. Romantisme kejayaan Sritex juga jangan sampai digunakan untuk membuat gelombang simpati yang salah.

Dalam pengumuman, Rabu, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung memang telah menyebutkan sejumlah dasar tindak pidana, yakni penggunaan kredit untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif berupa tanah. Hal itu dinilai tidak sesuai dengan peruntukan sebagai modal kerja. Itulah dasar tindak pidana.

Seperti becermin pada kasus-kasus sebelumnya di Tanah Air, kasus kredit macet memang bukan hanya ranah perdata. Parameternya ialah adanya penyalahgunaan penggunaan kredit. Apalagi jika kemudian terbukti untuk memperkaya diri sendiri, di situlah jelas tindak pidana.

Ahli hukum juga telah menyatakan bahwa kredit macet merupakan perkara perdata murni apabila penyebabnya di luar kekuasaan debitur, seperti gempa, tsunami, ataupun krisis moneter (force majeur). Adapun kredit macet yang terkait dengan tindak penyalahgunaan kredit, pelanggaran terhadap peraturan, baik Undang-Undang Perbankan maupun peraturan BI, merupakan ranah pidana.

Dari dasar-dasar itu maka yang menjadi pekerjaan besar Kejagung ialah membuktikkan bahwa pembelian tanah dan pembayaran utang itu bukan terkait dengan modal kerja Sritex. Meski dalam pandangan umum ketiganya tidak berhubungan, dalam berbisnis bisa saja berbeda. Pembayaran utang bisa saja harus dilakukan Sritex untuk bisa mendapatkan bahan baku dari supplier. Hal itu jelas merupakan proses mendapatkan modal kerja.

Maka, kita sepakat dengan pandangan bahwa Kejagung harus segera mengungkapkan aliran dana dari kredit Sritex itu. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus juga terlibat di dalamnya.

Jika benar tindak pidana itu terbukti, ini akan menjadi pelajaran besar, bukan saja pada bisnis garmen, melainkan juga prinsip kehati-hatian dalam pemberian fasilitas kredit. Sebaliknya, jika tindak pidana tidak terbukti, langkah Kejagung akan menambah buruk iklim investasi Tanah Air.

BERITA TERKINI

IndonesiaPos