JAKARTA, IndonesiaPos
Pekan ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja memaparkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 30 November 2019.
Berdasarkan data yang dia ungkapkan, pos-pos penerimaan tercatat masih jauh dari target yang ditetapkan APBN, dan defisit pun membengkak meski Sri Mulyani meyakini bakal membaik di akhir tahun.
Rekaman wawancara IndonesiaPos.co.id dengan Pengamat kebijakan Publik Wibisono di Jakarta sabtu malam (21/12/2019) “Saya kutip dari data mentri keuangan, hingga November 2019 realisasi penerimaan negara mencapai 1.677,1 trilliun tumbuh 0,9 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 1.662,9 triliun,”
Lanjut Wibi, Adapun realisasi hingga November 2019 tersebut setara dengan 77,5 persen dari target yang tercantum dalam APBN. Sedangkan untuk realisasi belanja negara hingga 30 November 2019 tercatat mencapai Rp 2.046 triliun atau 83,1 persen dari target APBN. Angka tersebut tumbuh 5,3 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 1.942,6 triliun, imbuhnya.
” Adapun Untuk keseimbangan primer, realisasi hingga per 30 November tercatat defisit 101,3 triliun. Angka tersebut sudah mencapai 503,7 persen dari pagu yang ditetapkan oleh APBN,” kata wibi yang juga sebagai pembina Advokat Bangsa Indinesia (ABI).
Sebagai catatan bahwa keseimbangan primer merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.
Menurut data yang ada dapat disimpulkan sebagai fakta-fakta terkait APBN :
Pertama, paparan Sri Mulyani Defisit Rp 369,8 Triliun hingga 30 November 2019 defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp 368,9 triliun.
Adapun target awal pemerintah, defisit APBN tahun ini sebesar 1,84 persen dari PDB. Meski pemerintah telah merevisi target tersebut menjadi sebesar 2,2 persen di akhir tahun.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 279,7 persen atau 1,89 persen terhadap PDB, realisasi defisit tersebut mengalami peningkatan.
“Terjadi pelebaran defisit APBN dari target awal tahun 2019 yang sebesar 1,84 persen. Juga terjadi kenaikan jika dibandingkan dengan tahun lalu,” ujar Sri Mulyani ketika memberi keterangan pers di Jakarta, Selasa (19/12/2019).
Sri Mulyani pun mengaku optimistis hingga akhir tahun defisit APBN akan membaik. Sebab, hingga 13 Desember 2019, defisit anggaran telah turun menjadi 2,21 persen dari pagu APBN. Hal tersebut didorong oleh kenaikan pertumbuhan penerimaan pendapatan dan optimalisasi belanja pada akhir tahun.
“Kemungkinan akhir tahun akan ke 2,21 persen hingga 2,22 persen. Jadi tidak mendekati ke 2,3 persen, tapi ke 2,2 persen. Kita lihat lagi ke dua minggu terakhir,” ujar dia.
Kedua, Pembiayaan Hutang Bengkak : Defisit keseimbangan primer yang mencapai defisit lima kali lipat dari target yang sudah dianggarkan, artinya masih harus berutang untuk membayar utang. Namun jika surplus berarti untuk membayar hutang-utang lama pemerintah tidak perlu menambah hutang baru. Dengan demikian, pembiayaan hutang pemerintah pun membengkak.
Hingga periode November 2019 pembiayaan hutang pemerintah mencapai Rp 442 triliun. Angka itu di atas target pembiayaan tahun ini yang hanya Rp 359 triliun atau 123,3 persen dari pagi yang ditetapkan dalam APBN. Pembiayaan tersebut juga naik 21,8 persen dibandingkan November 2018 lalu.
“Realisasi pembiayaan utang ini karena ada front loading (penerbitan surat utang pada awal tahun). Jadi akhir tahun sudah fully funded,” kata Sri Mulyani.
Sedangkan terkait draft undang-undang yang bermasalah lainnya sangat berbeda, pengesahan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2020 berjalan lancar. APBN 2020 diterima dan disetujui oleh semua fraksi dan kemudian disahkan pada akhir September lalu.
APBN yang mencatat sumber pemasukan keuangan dan pengeluaran pemerintah untuk tahun depan dialokasikan sebesar Rp 2.540 triliun, naik 3 persen dari perkiraan yang tercantum dalam APBN 2020. Angka tersebut juga naik 3 persen dari APBN 2019, yang berjumlah Rp 2.461 triliun.
“Kenaikan ini terjadi karena ada kebutuhan belanja pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mempercepat pembangunan infrastruktur, menciptakan birokrasi yang efisien dan bebas korupsi, dan mengantisipasi ketidakpastian ekonomi global,” ulas Wibi.
Sektor Pajak Loyo
Sri Mulyani memaparkan hingga 30 November 2019 realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 1.136,17 triliun atau sebesar 72,02 persen dari pagu yang dianggarkan dalam APBN yang sebesar Rp 1.577,56 triliun.
Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, realisasi pajak tersebut turun 0,04 persen. Seretnya penerimaan pajak menjelang akhir tahun diakibatkan realisasi penerimaan pajak disektor migas yang loyo.
“Sedangkan Kalau kita lihat PPh ( Pajak penghasilan) mengalami kontraksi yang luar biasa, ini dikarenakan liftingnya turun, harga minyak lebih rendah, dan kurs menguat,” jelas Wibi.
Jika dirinci, realisasi penerimaan pajak migas hingga akhir November 2019 tercatat sebesar Rp 52,89 triliun atau 79,95 persen dari target APBN yang sebesar Rp 66,15 trililun. Data APBN menunjukkan, angka tersebut lebih rendah 11,51 persen jika dibandingkan dengan realisasi di periode yang sama tahun lalu.
Sementara untuk penerimaan PPh non migas hingga akhir November tercatat sebesar Rp 615,72 triliun atau 74,34 persen dari target APBN yang sebesar Rp 828,29 triliun. Realisasi tersebut meningkat 4,07 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Menurut Sri Mulyani Sektor migas nampaknya masih memiliki daya tahan luar biasa di tengah gempuran krisis ekonomi global.
Adapun jika dirinci berdasarkan jenis pajak, PPh Pasal 21 mencatatkan pertumbuhan 10,58 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dengan realisasi sebesar Rp 133,17 triliun.
Untuk PPh passal 22 mencatatkan realisasi sebesar Rp 16,32 triliun atau tumbuh 6,52 persen, pajak orang pribadi tumbuh 16,59 persen dengan realisasi sebesar Rp 10,34 triliun dan PPh Badan tercatat sebesar Rp 211,66 triliun dengan pertumbuhan 1,18 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
“Untuk pajak ini masih ada yang tumbuh positif, yaitu PPh 21, lalu ada PPh Orang Pribadi. Ini menunjukkan penerimaan di kedua sektor ini masih kuat,” pungkas Bendahara Negara ini.