JEMBER – IndonesiaPos
Kejaksaan negeri (Kejari) Jember mendapat ujian baru dalam pengamanan kasus dugaan korupsi pengadaan makan dan minum kegiatan Sosialisasi Peraturan Daerah (Sosperda) tahun anggaran 2023/2024 yang kini terus bergulir.
Sebelumnya Kejari telah menaikan status penanganan perkara korupsi itu dari tahap penyelidikan ke penyidikan terhitung 17 Juli 2025 lalu.
Tim Penyidik juga menyatakan telah menemukan adanya potensi kerugiaan Negara mencapai RP 5,6 Milyar dalam kegiataan yang dilaksanakaan oleh DPRD Jember pada periode itu.
Sebanyak 30 orang saksi telah diperiksa tim penyidik Kejaksaan. Bahkan Kejaksaan juga mengumumkan secara resmi kepada media massa atas keseriusan mengusut kasus dugaan korupsi itu hingga menuai atensi publik luas di Kabupaten Jember.Kini beragam opini dan sorotan publik telah ramai, tidak sedikit yang mempertanyakan beranikah Kejari menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi Sosperda 2023/2024 yang diduga melibatkan oknum unsur pimpinan DPRD Jember.
Menyikapi persoalan ini Pakar Ahli Pidana sekaligus Akademis, Dr Aries Harianto S.H,M.H kepada media menyatakan secara normative dengan munculnya opini publik tentang penegakan hukum perkara korupsi Sosperda oleh aparat penegak hukum menjadi hal seksi, sebab saat ini penanganan perkara pidana itu telah menjadi atensi dari publik luas.
“Apapun beragam pemberitaan yang muncul melalui media massa tetant penanganan Kasus Sosperda dan dengan kapasitas saya sebagai akademisi di bidang hukum maka saya tetap melihat perkara ini secara normative, problemnya adalah mengapa sampai saat ini penyidik belum mengantongi tersangka?ini yang menjadi pertanyaan public dan harus dijawab kejaksaan,” ujarnya kepada wartawan Kamis (14/8/2025).
Namun secara akademis, Aries menyatakan ada beberapa hal penting dan mendasar yang tetap menjadi pertimbangan dalam penegakaan hukum. Pertama Keadilan tidak hanya sebatas output.
“Dalam arti keadilan dalam kasus sosperda ini juga ditentukan oleh proses yang diharapkan dapat membidangi lahirnya keadilan itu sendiri, jangan sampai dalam penentuan tersangka justru terkesan gegabah, semua proses harus dilakukan dengan professional juga cermat, jangan sampai salah langkah yang pada akhirnya melenggar HAM seseorang namun dengan catatan semua dilaksanakan secara transparan, independen dan akuntabel,”jelasnya.
Kedua, mengingat kasus Sosperda telah menjadi perhatiaan public maka setiap tahapan wajib berdasarkan aturan. Artinya upaya penentuan tersangka harus mengacu pada hukum dalam hal itu mengacu pada KUHP UU No 8 Tahun 1981 ditambah Putusan MK No 21/PUU 12/ 2014.
“Didalamnya secara subtansif disebutkan bahwa penetapan tersangka berdasarkan minimal dua alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHP dan disertai pemeriksaan calon tersangkanya, dengan kata lain untuk menentukan tersangka dalam proses penyidikan harus diawali dengan poemeriksaan dari calon tersangkanya dan tentu saja hal ini melalui pemanggilan oleh kejaksaan,” paparnya.
Ketiga, Jika dalam penyidikan kasus itu, terlapor telah secara ekplisit dan kongkrit mengarah kepada seseorang maka wajib untuk kejaksaan untuk segera melaksanakan pemanggilan terhadap siapapun itu yang terkait dengan penanganan perkaranya.
“Tidak peduli siapapun itu Anggota Dewan atau bukan atas dasar azas persamaan hukum yang wajib dijunjung tinggi, mengapa sampai saat ini belum dilakukan pemanggilan terhadap orang tersebut, ada apa? inilah yang jadi pertanyaan public saat ini,” tegasnya.
Dr. Aries menyatakan pemangilan dan penetapan tersangka tidak lantas diartikan yang bersangkutan dapat diperlakukan semena-mena apalagi dilanggar hak-haknya.
“Tersangka tetap diberikan hak-hak oleh aturan, diposisikan sebagai subyek dan tetap dijunjung harkat dan martabatnya,” imbuhnya.
Aries juga turut mengapresiasi adanya komunikasi yang baik antara pelapor dengan pihak kejaksaan dalam penanganan perkara korupsi itu yang juga mengemuka ke public, namun hal itu diangap belum cukup untuk memberikan asupan informasi bagi publik.
“Komuikasi yang dibangun juga semstinya dilakukan secara tertulis,Konfirmasi Pelapor dilakukn tertulis, jawaban Kejaksaan pun demikian, sehingga dokumentasi interaksi komunikasi itu menjadi dokumen dan bahan pengawasan kejaksaan Agung, apakah subtansi jawaban kejaksaan atas konfirmasi pelapor dinilai masuk akal atau tidak nanti monitoring pengawasn yang menentukan,” tegasnya.
Aries turut mengingatkan Pasal 1 angka 5 KUHP menyebutkan penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan satu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.
“Saat ini penanganan kasus Sosperda sudah dalam tahap Penyidikan berarti berdasarkan logika hukum pasal 1 angka 5 KUHP,sudah bisa dipastikan terjadinya tindak pidana sebagaimana laporan dari pelapor, kalau sudah terjadi indikasi terjadinya tindak pidana tentu lekat didalamnya adapula indikasi siapa pelakunya,” kata Aries.
Oleh karenanya Aries menyimpulkan belum adanya pemanggilan terhadap terlapor dalam perkara korupsi Sosperda oleh Kejaksaan meski saat ini telah masuk ke tahap Penyidikan menjadi fakta yang patut dicermati, patut dikonfirmasi didalam kerangka tegaknya Supermasi Hukum.(kik)