JAKARTA – IndonesiaPos
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, mengungkapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa menangani kasus korupsi di tubuh institusi militer, patut diapresiasi.
Hal ini dinilai menjadi langkah maju bagi perluasan locus lembaga antirasuah dalam kerja-kerja pemberantasan praktik lancung.
“Putusan ini juga akan membuat pemberantasan korupsi jauh lebih baik, karena nanti KPK bisa memaksa pihak TNI untuk saling berkoordinasi dengan sistem gabungan untuk menangani perkara korupsi yang berkaitan dengan oknum militer,” ujar Boyamin kepada Media Indonesia, Jumat (29/11/2024).
Boyamin juga meminta agar TNI yang dipimpin oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dapat menghormati, menaati, dan melaksanakan putusan MK tersebut. Begitupun dengan Kementerian Pertahanan agar bisa berkoordinasi dengan KPK.
“Pengadilan militer saya yakin tidak ada masalah, lantaran nanti bisa disidangkan di pengadilan umum ataupun pengadilan militer, yang penting tidak ada lagi ego sektoral antara KPK dan militer,” ujarnya.
Menurut dia, TNI tidak boleh berdalih lagi dengan terus menerus menganggap bahwa kasus korupsi di lingkungan TNI hanya bisa diadili lewat peradilan militer.
“Sehingga masing-masing tidak lagi merasa berwenang atau tidak berwenang, atau KPK menjadi merasa tidak mempunyai kekuatan untuk membawa kasus ke pengadilan karena tidak ada dasarnya, ini tidak akan lagi terjadi.”
Dalam hal ini TNI harus bisa berkoordinasi dan bersikap kooperatif dengan KPK. Sehingga, terang dia, kasus KPK yang meminta maaf terhadap pengusutan dugaan korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas) yang melibatkan oknum TNI tidak lagi terulang.
“Misalnya, seperti kasus Basarnas dulu akhirnya menjadi tarik ulur karena pihak pengadilan militer juga mengadili sendiri dan kesannya tidak kooperatif. Jadi kalau dengan adanya putusan MK ini, TNI saya yakin akan menjadi kooperatif,” katanya.
Boyamin menilai KPK bisa mencontoh sistem pemberantas korupsi yang terkoneksi dengan sistem peradilan militer, seperti di Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal itu juga diperkuat dalam undang-undang Kejagung dan Peradilan Militer.
“Jadi KPK bisa mencontoh sistem kerja Kejagung bahwa institusinya yang sudah berwenang mengusut kasus korupsi di tubuh militer, harus menjalankan sistem koneksitas. Makanya ada Jaksa Agung Muda Pidana Militer di Kejaksaan Agung yang bisa menangani perkara korupsi militer. KPK bisa merujuk sistem yang serupa,” tuturnya.
Terpisah, Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad mengatakan putusan MK tersebut merupakan langkah awal yang baik bagi institusi TNI dalam mewujudkan amanat Undang-Undang TNI, khususnya mengenai tindak pidana umum, termasuk korupsi yang mana anggota TNI diadili dalam sistem peradilan umum.
“(Putusan MK) Ini satu langkah baik menuju amanat Undang-Undang TNI. Oleh karena itu, kalau memang taat asas dan taat terhadap pemerintah sipil termasuk UU yudikatifnya MK, maka tidak boleh membantah dan harus menyesuaikan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi itu,” katanya.
Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan perkara Nomor 87/PUU-XXI/2023, yang meminta agar KPK berhak mengendalikan kasus korupsi di tubuh institusi militer. “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” tukas Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang digelar Jumat (29/11).
Dalam putusan itu, Suhartoyo menyatakan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Gugatan ini diketahui dilayangkan oleh seorang advokat Gugum Ridho Putra yang menggugat frasa ‘mengkoordinasikan dan mengendalikan’ dalam Pasal 42 UU 30/2002 tentang KPK.
Pengadilan Militer Ungkap Korupsi Basarnas, Letkol TNI Afri Terima Suap 9,9 Miliar