JAKARTA — IndonesiaPos
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menilai usulan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD bukan gagasan baru, dan justru berpotensi menguntungkan elite politik.
“Alasan politik uang, biaya tinggi, dan polarisasi selama ini hanya dijadikan justifikasi untuk memuluskan wacana pilkada melalui DPRD,” ujarnya kepada Media Indonesia pada Senin (8/12).
Menurut mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta tersebut, persoalan politik uang justru lebih banyak berasal dari elite politik yang menjadi peserta pilkada.
“Mereka ingin menang dengan menggunakan uang sebagai iming-iming. Ini bukan persoalan pemilih,” kata Jamiluddin.
Ia menegaskan, praktik serupa tetap berpotensi terjadi bila mekanisme pilkada dikembalikan ke DPRD.
“Calon bisa saja menyuap anggota DPRD agar memilihnya. Jadi politik uang tidak otomatis hilang,” tuturnya.
Jamiluddin juga menyoroti tingginya biaya pilkada yang sejauh ini banyak disumbang oleh praktik mahar politik.
“Biaya tinggi itu kontribusi partai politik yang mengenakan mahar miliaran rupiah kepada calon,” jelasnya.
Menurut dia, masalah tersebut justru bisa menjadi lebih buruk jika pilkada melalui DPRD.
“Mahar akan semakin besar karena peluang menang di DPRD lebih terbuka. Partai tentu akan menginstruksikan kader di DPRD untuk memilih calon yang membayar mahar besar,” katanya.
Selain itu, mekanisme pilkada melalui DPRD berpotensi menghilangkan hak rakyat dalam menentukan pemimpinnya.
“Yang terjadi nanti bukan rakyat memilih pemimpinnya, tapi elite yang memilih elite. Anggota DPRD lebih tunduk kepada partainya dibanding konstituen,” ujar Jamiluddin.
Terkait kekhawatiran polarisasi politik, Jamiluddin menilai hal itu tidak relevan dijadikan alasan untuk mengubah mekanisme pilkada.
“Pilkada langsung tidak menimbulkan polarisasi berkepanjangan. Polarisasi mencair setelah pilkada selesai,” katanya.
Ia menambahkan, jika ada polarisasi yang bertahan, itu lebih disebabkan oleh relawan peserta pilkada yang tetap dipelihara setelah kandidatnya menjabat.
Atas dasar itu, Jamiluddin menegaskan bahwa tidak ada alasan kuat untuk mengembalikan mekanisme pilkada ke DPRD. Sebab menurutnya, dapil-dalil yang muncul hanya menguntungkan elite politik.
“Pilkada melalui DPRD adalah kehendak elite, bukan rakyat. Dan itu tidak perlu lagi terjadi di Indonesia. Indonesia tidak perlu mundur. Pilkada langsung lebih mencerminkan kehendak rakyat,” tegasnya. (MI)