<

Tentara AS Evakuasi Diplomatnya di Haiti

JAKARTA, IndonesiaPos

Amerika Serikat (AS) dilaporkan mulai mengangkut staf kedutaan keluar dari Haiti. puluhan pejuang geng bersenjata mencoba merebut kawasan politik di ibu kota Port-au-Prince.

Kementerian Luar Negeri Jerman mengatakan duta besarnya bergabung dengan perwakilan Uni Eropa lainnya untuk berangkat ke Republik Dominika pada Minggu (10/3).

Geng-geng Haiti memulai serangan untuk menggulingkan pemerintah pada 29 Februari dengan menyerbu dan menggeledah kantor polisi, penjara dan rumah sakit serta mengepung lokasi-lokasi strategis, termasuk pelabuhan dan bandara.

Perdana Menteri Haiti Ariel Henry, yang sedang berada di luar negeri ketika pemberontakan dimulai, kini terdampar di Puerto Rico.

Seorang pejabat AS pekan lalu memperingatkan bahwa pemerintahannya yang sudah tidak populer lagi di mata publik Haiti bisa jatuh kapan saja.

Pemberontakan geng semakin intensif pada Jumat (8/3) malam, ketika puluhan anggotanya berkumpul di Champ de Mars, kawasan pusat kota Port-au-Prince yang dipenuhi pohon palem dan merupakan lokasi kementerian, kedutaan besar, konsulat, bank dan hotel, serta mahkamah agung Haiti dan kediaman resmi presiden.

Anggota geng dilaporkan membakar gedung kementerian dalam negeri, yang dibangun setelah gempa bumi 2010 yang menghancurkan sebagian besar ibu kota, dan menembaki istana presiden sebelum dipukul mundur oleh tentara.

“Jika Champ de Mars jatuh itulah akhirnya,”kata seorang petugas polisi memperingatkan dalam sebuah wawancara dengan situs berita AyiboPost.

Surat kabar Le Nouvelliste menyebutkan geng-geng tersebut telah melancarkan operasi sistematis untuk mengusir polisi dari jantung strategis Port-au-Prince.

“Pusat kota Port-au-Prince telah runtuh, tidak ada keraguan lagi,” surat kabar itu melaporkan pada Sabtu (9/3) pagi, dan menunjukkan sebuah foto kantor polisi yang terbakar.

Ketua Persatuan Nasional Petugas Polisi Haiti Lionel Lazarre mengatakan kepada AyiboPost bahwa rekan-rekannya berjuang untuk menahan serangan gencar. “Polisi sudah berlutut,”katanya.

Polisi tampaknya masih mengendalikan wilayah Champ de Mars pada Minggu (10/3), namun pemerintah asing telah mendesak warganya untuk meninggalkan Haiti di tengah kekhawatiran bahwa pemerintahan Henry yang diperangi akan memakan waktu berhari-hari atau bahkan berjam-jam menuju keruntuhan.Pada Minggu (10/3),

Miami Herald mengatakan marinir AS telah diterbangkan ke Port-au-Prince untuk memperkuat keamanan kedutaan dan mengevakuasi staf yang tidak penting.

Para pejabat pertahanan AS mengatakan kepada surat kabar itu bahwa operasi tengah malam itu dilakukan melalui helikopter atas permintaan Departemen Luar Negeri.

Seorang juru bicara kementerian luar negeri Jerman mengatakan karena situasi keamanan yang sangat tegang di Haiti, duta besar Jerman dan perwakilan tetap di Port-au-Prince berangkat ke Republik Dominika hari ini bersama dengan perwakilan dari delegasi Uni Eropa lainnya.

Ia menambahkan bahwa mereka akan bekerja dari sana sampai pemberitahuan lebih lanjut.Baca juga : Geng Bersenjata Serang Penjara di Haiti, Belasan Orang Tewas

Situasi keamanan Haiti semakin memburuk sejak Henry menjadi perdana menteri dan penjabat presiden setelah pembunuhan Jovenel Moïse pada 2021.

Sejak saat itu, geng-geng yang memiliki hubungan politik dan menghasilkan uang dari penculikan, penyelundupan narkoba, dan pemerasan telah menguasai lebih dari 80% wilayah Port-au-Prince, dan kelompok-kelompok tersebut semakin berkembang dalam beberapa hari terakhir.

Daniel Foote, mantan utusan khusus AS untuk Haiti, meramalkan bahwa geng-geng tersebut akan menang jika tuntutan mereka agar Henry mengundurkan diri dipenuhi.

Namun, Foote yakin situasi keamanan telah menjadi begitu akut sehingga intervensi internasional secara besar-besaran kini menjadi satu-satunya cara untuk memulihkan ketertiban.

Dia mengatakan misi semacam itu perlu melibatkan antara 5 ribu dan 10 ribu petugas polisi dan dipimpin oleh negara-negara besar yang berpengalaman dalam pengembangan kapasitas polisi, seperti AS, Kanada, Inggris, Prancis, atau negara Uni Eropa lainnya.

Foote mengatakan rencana penempatan dua ribu petugas polisi Kenya ke Haiti yang didukung PBB tidak akan cukup.

“Itu hanya misi bunuh diri, kasus terburuk, dan buang-buang uang, kasus terbaik,” ujarnya.

Ketika kekerasan meningkat pada akhir pekan dan calon penerus Henry berebut posisi, pemimpin otoriter El Salvador menampilkan dirinya sebagai penyelamat yang tidak terduga.

Nayib Bukele telah menjebloskan puluhan ribu warga Salvador ke penjara sebagai bagian dari tindakan keras terhadap geng-geng di negaranya yang mendapat pujian dari anggota sayap kanan populis Amerika Latin dan politisi Partai Republik di AS.

“Kami dapat memperbaikinya. Tetapi kita memerlukan resolusi Dewan Keamanan PBB, persetujuan dari negara tuan rumah, dan semua biaya misi yang harus ditanggung,” cuit Bukele pada Minggu (10/3), sebagai tanggapan atas postingan tentang Haiti oleh seorang blogger sayap kanan.

Para pemimpin Karibia akan bertemu di ibu kota Jamaika, Kingston, pada hari Senin untuk membahas krisis ini.

Pekan lalu, ketua kelompok Komunitas Karibia (Caricom), presiden Guyana, Mohamed Irfaan Ali, mengatakan para pemimpinnya bertekad membantu rekan-rekan mereka di Haiti menemukan solusi politik.

“Fakta bahwa lebih banyak orang yang meninggal di Haiti pada awal tahun ini dibandingkan di Ukraina harus membuat semua orang di Haiti dan komunitas internasional terdiam sejenak,” kata Ali. (MI/The Guardian)

Presiden Amerika Serikat Resmi Dimakzulkan

 

BERITA TERKINI